38. Transition

2.4K 277 226
                                    

3 hari kemudian.

Kita kembali lagi ke mansion. Yang mana pemiliknya, Irma, sedang mencari-cari seseorang. Ia pun memutuskan untuk menelepon saja lantaran rumahnya terlalu besar, akan melelahkan jika harus mencari-cari orang tersebut secara manual.

"Halo, Nyonya."

"Ya, halo. Kamu dimana? Ke kamar saya, ya. Sekarang. Saya mau bicara penting."

"Oh baik, Nyonya. Saya ke sana."

Selanjutnya, Laras pun langsung menuju kamar sang Nyonya yang letaknya ada di lantai bawah. Mengetuk pintu kamar sebagai tindakan awal, lantas dirinya langsung mendapat sahutan perizinan dari dalam kamar.

Laras membuka pintu seraya tersenyum sopan. Berjalan mendekati sang Nyonya yang duduk di atas sofa mewah kamarnya.

"Duduk," titah Irma pelan.

Yang disuruh pun langsung melakukan.

"Saya mau langsung ke inti aja ya, Laras. Kamu pasti banyak kerjaan juga, kan?" Irma membuka percakapan.

"Iya, Nyonya." Laras tersenyum sopan.

"Kamu udah sarapan?"

"Belum, Nyonya."

Irma mengangguk-angguk. "Ya sudah. Habis ini kamu sarapan, ya. Udah mau jam 10," ucapnya penuh karisma.

"Baik, Nyonya." Laras kembali menangguk sopan.

Lalu wanita dewasa itu menghela napas, menatap ke arah lantai yang ada di depannya. Ya, tidak menunduk.

"So... Michael bilang dia mau nikah sama kamu." Sebuah pernyataan.

Mendengarnya, Laras langsung diserang oleh debaran gugup. "I-iya, Nyonya, betul," katanya kikuk sambil menunduk.

Sebenarnya melihat status Laras dan Michael yang terlalu jomplang, tentunya tidak mengenakkan untuk batin Irma. Sulit untuk diterima. Namun kembali lagi, Irma sudah berjanji pada sang anak tempo hari; Be happy. And I promise to do anything, to make it true.

"Tapi anak saya itu gak terlalu sehat, Laras," ucapnya datar, sambil menatap lurus ke depan.

Laras tak mau memotong. Ia ingin memerhatikan lebih dulu.

"Dia sakit, dan tidak pernah ditangani dengan baik. Bertahun-tahun dia sakit dan bodohnya saya, gak tau kalau dia sakit. Yang saya tau dia berubah nakal, berubah kasar, cengeng. Pokoknya dia jadi aneh dan saya gak suka," ujarnya lancar, namun ada kesedihan juga di nadanya.

Laras menatap dalam, penuh perhatian. Sang Nyonya tampak mulai berkaca-kaca.

"Anak saya cuma satu. Tapi itu pun saya gak bisa mengurus dia dengan baik," ucapnya sendu, lalu menatap ke samping pada Laras. "Bayangin kalau anak saya dua atau tiga atau empat? Pasti makin gak jelas nasib anak-anak saya." Irma tersenyum getir, menyeka ujung mata sebelum airnya tumpah.

Laras menghela napas kecil. Ikut terhanyut dalam kesedihan sang pembagi kisah.

"Saya izinkan Michael sama kamu karena saya udah janji sama dia." Irma berhenti, lalu menatap Laras dalam-dalam. "Saya janji sama dia untuk kasih apa pun yang dia mau asal dia bahagia. Katakanlah sebagai penebus dosa." Irma tersenyum. Entah senyuman jenis apa.

Lalu ia menyentuh tangan Laras, tidak menggenggam, hanya meletakkan tangannya di atas punggung tangan Laras. "Selama ini, Michael sukanya cuma sama Bintang. Sampai-sampai saya kesel sendiri kadang." Irma diam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya agak ke atas.

"Waktu dia pacaran sama anak wali kota itu, saya kira dia udah bener-bener move on. Ternyata enggak. Dia masih sebut-sebut Bintang terus meski udah punya pacar. Saya juga pernah mau menjodohkan dia sama gadis Jepang, anak rekan kerja saya. Cantik sekali dan menurut saya, mendekati sempurna?" ungkap Irma lagi dengan senyuman nostalgia. "Tapi Michael gak mau. Dia nolak mentah-mentah."

UNSTABLE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang