11. Recurrence

2.5K 313 128
                                    

"Mama bilang, harus tahun depan. Bisa gak ya gue lulus? Capek."

"Gue bisa tidur gak, ya?"

"Jayanjing. Mampus malu."

"Anak magang di kantor kayaknya suka sama gue, ngeliatin mulu."

"Abby cantik banget, paling bisa bikin gue lemes. Tapi sumpah kesel banget kalau dia udah cemburu."

"Gue gak mau mimpi buruk. Please, jangan ketindihan juga."

"Laras cantik juga, ya... tapi ngeselin, lemot."

"Kepala gue sering pusing, sakit. Bukan kanker, kan?"

"Dada gue sering sakit. Jangan-jangan sakit jantung? Atau asma? Paru-paru basah? TBC?"

"Kenapa Papa selingkuh? Mama gak perhatian. Sibuk terus."

"Bintang..."

"Bintang udah di langit."

"Bintang, maafin gue, ya..."

"Bintang, gue kangen. Kangen banget. Kangen... kangen banget..."

"Kenapa gue selalu sedih? Apa yang salah?"

"Maafin gue, Bintang..."

Jam 11 malam. Banyak sekali yang berjalan-jalan di pikiran Michael. Ingin tidur, tapi hati dan pikiran terus mengajak fisik untuk bicara. Tak mengizinkannya terlelap.

Ketika bayang-bayang orang bernama Bintang itu mulai menghantui pikiran, Michael mulai gelisah. Ia menutup wajah dengan bantal sebab perasaannya mulai tak tenang.

Namun, Bintang dan memori-memori tentangnya datang bertubi-tubi. Telapak tangan Michael menjadi dingin. Tidak bisa berhenti, ingatan itu terus menghampiri, hingga telapak kaki ikut jadi dingin.

Ia memejamkan mata, meremas bantal yang kini dipeluknya. Jantungnya kian berdegup keras. Telapak kakinya semakin dingin dan basah. Cengkraman pada bantal semakin kuat. Menggulung jari-jari kakinya, lalu menekuk lututnya.

Michael sungguh benci sensasi ini. Namun, tidak mampu untuk menepis. Napas mulai berderu, perut mulai sakit, bibirnya mengering.

Meraih ponsel dari bawah bantal, kemudian mengklik-klik layar sentuh menggunakan jari dinginnya yang mulai kaku sebagai usaha.

Di tempat lain, ada Kaisar dengan ponsel yang tiba-tiba berdering. Melihat nama siapa yang muncul pada layar, ia langsung mengangkatnya.

"Halo, Tuan."

"Kaisar..."

"Iya, Tuan?"

"Kaisar... lo di mana?" Michael terengah pelan, Kaisar dapat mendengarnya.

"Di balkon dua, Tuan. Sama Bang Rofi."

"Sar, ke kamar gue... sekarang." Pintanya lemah, pelan. Matanya memanas, ingin terisak.

Kaisar langsung berdiri dari kursinya. "Iya, Tuan. Saya ke sana."

"Mau ke mana?" Rofi menginterupsi.

"Tuan Michael." Kaisar menjawab tanpa suara, sambil mulai berlari. Rofi pun mengangguk mengerti.

UNSTABLE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang