12 - Unstable Indeed

2.4K 323 147
                                    

[Sebelumnya] "Cerita tentang apa, Tuan? Biar saya pikirin dulu."

"Apa aja."

Laras berpikir sejenak, menatap pohon belimbing wuluh yang berdiri di sudut taman dekat kolam. Kira-kira cerita apa yang bagus untuk Tuannya?

"Kalau... cerita tentang keluarga saya, memangnya Tuan mau denger?" Laras bertanya hati-hati.

Michael mengerling sinis, "Gue bilang kan apa aja. Lo gak paham dengan frasa apa aja?"

Laras langsung menunduk. "Iya, Tuan... Laras salah, eh, maksudnya... saya salah." Ia memukul pelan bibirnya yang salah bicara. "Nyebut keluarga, saya jadi kebawa. Saya kalau ngomong sama Ibu dan Ayah kayak gitu soalnya."

Habis jadi galak, Michael merasa hangat mendengar ucapan Laras. Tersenyum kecil sambil memotong pancake, lalu kembali memakannya. "Ya udah, lanjut," katanya.

Sudah tidak ragu lagi, Laras pun berdeham sebelum memulai ceritanya, "Saya itu dua bersaudara. Saya punya adik masih SMP, kelas 8, namanya Adinda. Terus... eumm, ibu saya sekarang jualan makanan sama kue-kue. Kalau ayah saya, udah gak kerja," ungkap Laras melesu di akhir.

Kepala Michael terangkat pelan, menatap Laras sejenak sebelum menatap ke arah lain sambil mulai berpikir.

"Soalnya sakit kakinya, gak kuat berdiri lama-lama. Ada asam urat tinggi. Tadinya, Ayah kerja jadi satpam di kantor Pegadaian. Sekarang, gak bisa lagi," ungkap Laras lagi, ada sedih yang menyelimuti teringat Ayah yang tak sehat lagi.

"Siapa yang jagain di rumah?" Michael bertanya.

"Ya?" Laras menyahut.

"Siapa yang jagain Ayah lo di rumah kalau bertepatan Ibu lo lagi jualan dan adek lo lagi di sekolah?" Michael memperjelas.

"Oh, gak, Tuan. Ibu saya jualannya di rumah, kok. Jadi gak ninggalin Ayah." Laras tersenyum.

"Terus gimana ayah lo? Udah berobat?" Michael bertanya lagi.

"Sudah, Tuan. Beli obat rutin, sama jaga makanan juga."

Michael mengangguk samar, lalu memakan pancake-nya lagi. Laras pun hendak melanjutkan.

"Terus... adik saya sekarang lagi UAS, Tuan. Kadang-kadang kalau udah malam selesai saya kerja, suka video call saya, minta diajarin." Laras terkekeh kecil, mengingat adiknya suka tiba-tiba menelepon dengan nada frustrasi karena tak mengerti.

Pandangan Michael mengawang lagi. Ia teringat satu memori pribadi, lantas merespons, "Bilang sama adik lo, kalau mau nelfon, kapan aja bisa. Gak usah nunggu malam, gak apa-apa."

Ucapan itu sangat baik. Laras memandangi Michael, sayang sekali guratnya belum ada perubahan. Masih hampa dan hambar.

"Iya, Tuan. Nanti saya sampein ke Adinda," jawab Laras.

"Hm. Terus?" Michael masih mau saja.

Laras teringat ibunya kini. "Ibu saya... sering bilang kangen sama saya. Ya... saya juga, sih. Tapi kan, emang kayak gitu kalau kerja. Harus tanggung jawab, gak boleh kebawa perasaan, nanti jadi gak profesional. Iya kan, Tuan?"

Laras tersenyum, namun Michael tidak. Ia melamun sendu dan hampa. Bukannya tidak menyimak, justru Michael terlalu menyimak.

"Iya, betul," jawab Michael pelan, teringat pula pada pekerjaan dan kuliahnya yang memusingkan tetapi mesti terus ia jalani.

Wajah lelaki itu tak berubah-ubah. Ceritanya pasti tak menghibur, Laras kembali berpikir keras. Memilah-milah cerita seraya sesekali mencuri tatap melihat ekspresi Tuannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 10 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UNSTABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang