7

97 19 2
                                    

"Zi."

"Kizi." Sudah dua kali Sean memanggil Kizi, tapi perempuan itu tak kunjung menoleh ke arahnya, untuk sekedar menjawab atau berdeham pun tidak. Perempuan itu hanya menumpukan kepalanya di atas meja, menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya.

Akhirnya Sean mencoba untuk menepuk pelan pundak Kizi. "Kizi? Tidur?" tanyanya pelan.

Begitu merasa ada yang menyentuh pundaknya, Kizi pun mengangkat kepalanya. Ia menatap Sean dengan tatapan sendu. Matanya yang memerah membuat lelaki di depannya membelalakkan matanya. Sedangkan Kizi hanya terus menatapnya tanpa berpikir apapun.

"Kok mata kamu merah banget, Zi? Kamu gak abis nangis, 'kan?" tanya Sean khawatir.

Kizi menggeleng pelan, faktanya ia memang tidak habis menangis. Ia hanya kurang tidur. "Enggak kok," jawabnya lalu kembali menumpukan kepalanya di atas meja.

"Terus abis ngapain? Kamu sakit?" Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Sean menempelkan punggung tangannya ke dahi Kizi, perempuan itu tidak menolak, mungkin karena terlalu malas. Lagi pula Kizi yakin Sean tidak akan melakukan hal aneh kepadanya.

Sean mengecek apakah suhu tubuhnya tinggi atau tidak. Tapi ternyata suhunya normal, berarti perempuan ini tidak sakit. Ia memiringkan kepalanya sembari memikirkan apa alasan Kizi lemas seperti ini. "Kamu udah sarapan?" tanya Sean. Kizi menjawab dengan anggukan yang berarti ia sudah sarapan.

"Hm, terus kenapa ya? Kok matanya bisa sampe merah gini? Udah gitu kamu juga kayak yang lemes," gumam Sean.

Disaat Sean masih memikirkan alasan Kizi lemas seperti ini, Kiara dan Fidel datang menghampirinya lalu menggebrak meja Kizi sehingga sang pemilik meja membangkitkan kepalanya karena terkejut. Sean yang melihatnya membelalakkan matanya.

"Mana tugas kimia kita?" tanya Fidel, si penggebrak meja.

Kizi meraih tasnya yang ia gantung di gantungan yang terletak di pinggir mejanya. Ia mengambil beberapa buku tulis lalu menyerahkannya kepada Fidel dan Kiara, kira-kira ada 5 buah buku tulis yang Kizi berikan.

Fidel membuka buku tulisnya, membacanya sekilas. "Oke, bagus. Yuk, Del," katanya lalu menggandeng Kiara. Mereka berdua pun pergi dari hadapan Kizi.

Sean sedari tadi memandangi teman satu-satunya ini. Yang benar saja? Apakah alasan dari merahnya mata Kizi itu karena mengerjakan tugas kimia Kiara dan kawan-kawannya. Ini sudah gila. Apakah sebelumnya Kizi juga melakukan ini? Sesering apa? Pasti melelahkan sekali.

"Zi. Kamu ngerjain tugas mereka?" tanya Sean. Kizi mengangguk perlahan. Terlihat di wajahnya kalau ia ketakutan. "Kenapa kamu kerjain? Kan Bu Anwar bilang ini tugas individu, berarti harus kerjain sendiri," kata Sean lagi.

"Habis mereka minta aku kerjain, kalau enggak mereka ...." Kizi menggantung kalimatnya.

Sean menaikkan sebelah alisnya. "Kalau enggak mereka kenapa?"

Kizi terdiam. Matanya kosong. Tangannya meremas rok motif kotak-kotak yang ia kenakan. Ia menundukkan kepalanya, untuk menatap Sean pun ia enggan.

Sean meyingkap rambut Kizi lalu mengaitkannya di daun telinganya agar ia bisa melihat wajahnya walaupun hanya dari sisi samping. "Kenapa? Kizi bisa cerita ke aku, aku bakalan dengerin sampe abis. Kizi itu temen aku, sesama temen harus saling melindungi. Apa lagi aku laki-laki, aku wajib jagain kamu," kata Sean penuh perhatian.

Tapi perempuan itu tak kunjung membuka suaranya. Sean bisa melihat keringat mulai bercucuran di dahinya, padahal suhu di kelas ini lumayan dingin. Ia juga bisa melihat cengkraman Kizi yang semakin menguat sehingga roknya mengkerut.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang