9

78 19 8
                                    

"Buka atau gue dobrak pintu ini!" ancamnya. Akhirnya ia pun mendobrak pintu toiletnya dan masuk ke dalam. Ia bisa melihat Kizi terduduk di ujung toilet dengan pakaiannya yang basah kuyup. Di dekatnya tergeletak satu ember berwarna hitam kosong.

Kiara menoleh ke arah lelaki itu. "Ah! Ganggu banget sih lo! Lo mau juga kayak dia?" tanyanya sambil menunjuk Kizi.

Lelaki itu hanya diam menatap Kiara, Yara, dan Fidel bergantian. "Lo semua pergi dari sini, sekarang," perintahnya penuh penekanan.

"Ngatur banget lo! Lo siapa?" tanya Yara. Perempuan itu hendak mendorong pundak lelaki itu tetapi lelaki itu lebih dulu menepis tangannya.

"Me? You really wanna know who I am?"

Ketiga perempuan itu menatap lelaki di depannya bingung. "H-hah?"

"Sekali lagi gue minta kalian buat pergi dari sini. I'm not playing around right now, tangan gue bisa bikin muka kalian bonyok gak peduli kalian cewek atau cowok."

Lambat laun beberapa murid berdatangan menghampiri toilet perempuan karena mendengar suara gaduh. Kiara tidak mau harga dirinya jatuh dan dituduh sebagai perempuan yang jahat. "Yaudah sana tuh tolongin princess lo! Yar, Del udah kita pergi aja!" kata Kiara lalu bergegas keluar toilet, kedua temannya pun mengikutinya.

Sekarang hanya ada Kizi dan lelaki pirang itu. "Zi, are you ok?" tanya lelaki itu sambil membantu Kizi berdiri. Untuk sementara ia akan mengabaikan aroma yang kurang sedap di tubuh Kizi.

Air mata mengalir deras membasahi pipi Kizi yang sudah basah karena air pel. "Ukh ... Sean ...," gumamnya.

Ia tidak punya pilihan lain selain memeluk perempuan di depannya. Ia tidak pandai untuk menenangkan seseorang, menurutnya dengan memeluknya bisa membuat Kizi merasa aman untuk sementara.

Ia mengelus rambut Kizi yang basah itu perlahan. Dengan diperlakukan seperti ini malah membuat perempuan itu semakin tersedu-sedu. Sekarang lelaki itu menjadi serba salah.

Lelaki itu melepaskan pelukannya lalu menatap mata Kizi. "Zi, tell me. Lo diapain aja sama mereka tadi?" Perempuan itu tak kunjung menjawab, sangat sulit baginya untuk mengatakan sepatah kata.

Lelaki itu menyadari ada luka memar di dahi Kizi. "Kepala lo ... lo mau ke rumah gue dulu gak?" tanya lelaki itu. Ia tidak mau membiarkan Kizi pulang ke rumahnya dengan keadaan seperti ini.

Perempuan itu tidak merespon apa-apa, tidak menolak, tidak juga menyetujui ajakannya. Akhirnya lelaki itu membuka ponselnya dan memesan satu taksi online untuk mereka berdua.

"Wait a minute, ok? gue ambil tas gue sama tas lo dulu." Lelaki itu pun pergi meninggalkan Kizi.

Bohong kalau perempuan itu tidak terkejut dengan perlakuan lelaki itu sedari tadi kepadanya. Ini semua benar-benar aneh, tidak masuk akal. Ia ingin menanyakan hal ini tapi ia tidak bisa. Untuk berbicara saja ia tak kuasa.

Tak lama lelaki berambut pirang itu datang dengan tas di pundaknya dan menjinjing tas milik Kizi. "Yuk?" Lelaki itu menggandeng tangan Kizi. Mereka berjalan menuju gerbang sekolah.

Banyak mata yang memandangi mereka berdua, apalagi dengan keadaan Kizi yang sangat memprihatinkan. Untung taksi yang mereka pesan sudah sampai jadi mereka tidak harus menunggu lama.

Sekarang mereka berjalan menuju rumah lelaki itu. Sedari tadi Kizi hanya diam. Sesekali menoleh ke arah lelaki yang sedang duduk di sampingnya dan sedang memainkan ponselnya.

Lelaki itu bisa merasakan tatapan dari perempuan di sebelahnya. Ia menaruh ponselnya di saku celananya. "Hampir lupa," katanya lalu menoleh ke arah Kizi.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang