26

54 15 5
                                    

"Kita putus."

Dua kata itu terdengar menyesakkan bagi seorang gadis yang baru pertama kali menjalin hubungan dengan seseorang. Ternyata dunia percintaan tidak seindah yang ia bayangkan.

"Jadi bener kamu cuma jebak aku? Kamu sengaja cium aku terus Kiara videoin biar kalian punya bahan ancaman biar aku gak ngelawan kalian?" cecar Kizi.

Lelaki itu hanya mengangguk pelan. Matanya menunjukkan kepasrahan. Tapi gadis itu yakin kalau lelaki itu hanya berpura-pura sedih.

"Tega banget. Aku kira perasaan kita sama, tapi ternyata kamu cuma pura-pura tertarik sama aku. Aku kira kamu orang yang dipilih Tuhan untuk bikin hidup aku lebih berarti, tapi ternyata kamu cuma kesialan yang bikin hidup aku makin sengsara. Aku nyesel kenal sama orang kayak kamu, Tara."

Biarkan ia berbicara terus terang kali ini. Sangat jarang dirinya bisa mengeluarkan isi kepalanya lewat perkataan. Biasanya ia hanya memendamnya dan menguburnya di hatinya yang paling dalam.

"Yaudah kalo gitu. Sesuai apa yang kalian rencanain, kita putus. Seneng, 'kan? Rencana kalian berhasil," desis Kizi. Dengan penuh amarah, perempuan itu pergi dari hadapan Tara yang sekarang sudah berstatus sebagai mantannya. Kali ini Kizi bertekad, tidak akan menjalin hubungan dengan siapapun sebelum dirinya menyelesaikan pendidikannya.

"Hai, Kirisha." Tiga orang perempuan menghalangi upaya Kizi untuk pergi dari lapangan segitiga yang biasa digunakan untuk melaksanakan upacara. "Atau lebih tepatnya, babu baru gue dan temen-temen gue," lanjut perempuan yang berdiri tepat di hadapan Kizi.

Ini kali pertamanya ia merasa keselamatannya terancam ketika berada di sekolah. Awalnya ia menganggap sekolah adalah tempat pelarian dari keluarganya yang selalu membuatnya frustrasi, tapi sekarang kedua tempat itu tidak lagi memberikan rasa aman dan tenang untuknya.

"Jadi ... langsung aja lah ya?"

"Langsung apa?" tanya Kizi.

Ketiga perempuan itu menaruh tas mereka yang tadinya bertengger di pundaknya lalu menyodorkannya ke arah Kizi. "Langsung kerja. Turutin semua yang gue suruh, sekarang gue mau lo bawain tas gue sama temen-temen gue," katanya angkuh.

Kizi hampir menganga melihat cara Kiara dan teman-temannya memperlakukan dirinya. Apakah dirinya memang terlahir hanya untuk menuruti perintah orang lain? Tidak bisakah ia hidup bebas tanpa perintah dari orang lain?

"Ah, lama banget lo! Dah ini pokoknya bawa sebelom bel harus udah sampe," kata perempuan itu final. Mereka pun meninggalkan Kizi yang masih mematung sambil memandangi tas-tas yang tergeletak di pinggir lapangan.

Ia menghela napasnya kasar. Tangan kanannya meraih tas yang berwarna merah muda, lalu menggantungnya di pundaknya. Setelah itu ia mengambil dua tas lainnya.

Saat ia hendak melangkahkan kakinya, pundaknya seperti ditarik oleh sesuatu, lantas ia menoleh. Ternyata seseorang menarik tas yang sedang ia bawa.

"Kenapa?" tanya Kizi.

"Sini aku bantu bawa," balas lelaki yang baru saja meninggalkan kesan buruk di benak Kizi.

"Gak usah. Kiara gak mau kamu deket sama aku, jadi kamu pergi aja sekarang." Tidak mau menghabiskan waktu lama, Kizi pergi meninggalkan Tara dan berjalan menuju kelasnya. Mungkin beberapa murid lain atau guru akan merasa bingung kenapa ia membawa begitu banyak tas ke sekolah.

Seperti inilah keseharian Kizi mulai hari itu. Menuruti apa yang diperintahkan oleh Kiara dan teman-temannya. Malah terkadang teman sekelasnya yang tidak punya masalah dengannya juga ikut-ikutan seenaknya menyuruhnya untuk melakukan sesuatu dan membawa nama Kiara agar dirinya tidak menolak.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang