36

43 11 1
                                    

tw // abusive , suicidal thought

"Kamu ... kamu benar-benar bikin mama malu!"

"Akh!"

Satu tamparan penuh amarah melayang di pipi Kizi. Tidak hanya rasa pedas dan nyeri di pipinya yang ia rasakan, rasa sakit di hatinya juga tak kalah menyakitkan.

"Bahkan mama gak bisa angkat wajah mama dengan tinggi seperti dulu! Kamu ini mikir apa sih, Kirisha?!" bentak wanita itu lalu melempar tas miliknya ke arah anak perempuannya. Tidak peduli apakah anak itu terluka atau tidak.

"Bisa-bisanya kamu nyembunyiin ini dari kita, orangtua kamu! Siapa yang ngajarin kamu jadi nakal gini, hah?!" tanyanya lalu menampar sang anak. Ia bisa melihat wajah anak perempuannya sudah dibasahi oleh air mata, tapi ia tidak merasa iba sama sekali. Anak itu harus diberikan hukuman yang sangat berat.

"Ma udah dulu," perintah pria yang sedari tadi duduk di sofa. Pria itu berjalan mendekati anak perempuannya yang sudah terduduk lemah di lantai rumahnya. Keheningan ini membuat Kizi merasa sangat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya setelah ini.

bugh!

"Sakit ... Pa," lirih Kizi. Tangisannya semakin menjadi-jadi setelah sang ayah dengan tega melayangkan pukulan yang kencang di wajahnya.

"Papa pikir kamu bisa jadi kebanggaan keluarga kita, tapi kamu selalu nunjukkin sisi jelek kamu. Kamu ini beneran bagian dari keluarga ini bukan, sih?!" Tidak ada yang lebih menyeramkan dari bentakan sang ayah. Perempuan itu hanya bisa diam meratapi nasibnya yang benar-benar buruk.

"Masih kecil aja udah berani kayak gitu, gimana nanti? Kamu mau dicap murahan sama laki-laki di luar sana?" Kaki pria itu terangkat dan menginjak tubuh sang anak yang sudah terkapar di lantai.

"Sakit, Pa!" pekiknya setelah sang ayah menendang tubuhnya kasar lalu menginjaknya.

Sepertinya ia akan mati dalam waktu dekat ini. Sayang sekali ia belum berpamitan dengan Sean, Tian, dan ibunya. Rasa sesak di dadanya semakin membuatnya tidak bisa melawan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Ditampar, dipukul, ditendang, diinjak, dan dibentak. Semua itu sepertinya tidak cukup untuk menebus kesalahannya. Buktinya sampai sekarang orang tuanya masih saja melakukan semua itu, mereka berdua mengabaikan fakta bahwa tubuh sang anak sudah penuh luka dan memar.

"Dengan nangis kayak gitu kamu pikir kita bakal kasian? Enggak. Kamu pantas untuk dapetin ini semua," desis Angel. Wanita itu masuk ke dalam kamar Kizi lalu mengambil beberapa pasang pakaian milik perempuan itu.

Dilemparlah pakaian itu ke arah Kizi. "Mulai sekarang, jangan anggap kita adalah orang tua kamu. Kamu boleh pergi dari rumah ini."

Mata Kizi membelalak. Dengan cepat ia berdiri dan memeluk lengan wanita yang baru saja melempar pakaian ke arahnya. "Mama, Papa. Maafin Kirisha, Kirisha gak akan ulangi lagi, janji. Kirisha gak akan bikin kalian kecewa lagi, Kirisha jan—akh!" Tubuhnya didorong paksa oleh Angel.

Wanita itu mencengkeram lengan anak perempuannya lalu membuka pintu rumahnya. Begitu Kizi sudah tidak menginjakkan kaki di rumahnya, wanita itu pun membanting pintunya. Meninggalkan Kizi sendirian di luar rumah dengan keadaan penuh memar dan luka.

Kakinya yang lemah berusaha melangkah pergi dari rumahnya. Entah ke mana ia akan pergi, ia juga tidak tahu. Tapi yang pasti, ia tidak akan bisa kembali ke rumah tempat di mana ia tinggal semasa hidupnya.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang