21

58 13 0
                                    

"Anak mama udah bangun?" tanya Elisa sambil mengintip dari celah pintu yang ia biarkan tidak terbuka terlalu lebar.

Ia melihat sang anak sedang duduk di atas kasur sambil bersandar ke tembok. Kedua kakinya ia peluk sangat erat seolah-olah sedang memeluk orang lain.

Elisa tebak anak itu memang tidak kembali tertidur setelah mimpi buruk yang menimpanya. Wanita itu melangkahkan kakinya sepelan mungkin agar tidak menghasilkan suara yang mengganggu.

"Mau makan apa pagi ini? Mama bakalan masakin apa aja buat Sean," katanya pelan.

Lelaki itu menggeleng. "Sean gak laper."

"Tapi perut Sean kosong, jadi harus diisi. Minum susu aja dulu ya, gimana?" tanya Elisa lagi.

Lagi-lagi Sean menggeleng. "Perut Sean gak kosong kok," balasnya.

"Yaudah, kalo laper bilang mama ya." Elisa meninggalkan Sean yang masih enggan untuk mengubah posisinya. Ia duduk di sofa dan berdiam diri. Ia memandangi pintu kamar anak kesayangannya.

Ia jadi teringat saat dirinya pertama kali bertemu dengan lelaki bernasib malang itu. Saat itu ia baru saja pulang mengantarkan baju pesanan pelanggannya. Di sebuah gang sempit, ia melihat seorang anak laki-laki berumur sekitar 10 tahun dengan penampilan yang kusam bersandar di sebuah pilar rumah kosong.

Karena merasa kasihan, ia mencoba untuk menghampirinya. "Nak, kamu kenapa tidur di sini?" tanyanya sambil menepuk pundak anak itu pelan.

Bukannya menjawab, anak itu hanya diam memandanginya. Prasangka-prasangka buruk tentang anak itu muncul di pikiran Elisa. Apakah anak ini ditelantarkan? Apa lagi melihat tubuh anak itu yang terlampau kurus seperti kekurangan gizi. Tulang pipinya sangat terlihat jelas. Pemandangan yang tidak biasa ia lihat pada anak-anak. Seharusnya anak kecil pada umumnya memiliki tubuh yang gempal dan wajah yang bulat, bukan?

"Rumah kamu di mana?"

Kali ini anak itu meresponnya dengan gelengan kepala. Entah apa maksudnya, mungkin anak itu tidak tahu di mana rumahnya atau memang tidak memiliki rumah. "Mau ikut ibu? Rumah ibu sedikit jauh dari sini, tapi rumah ibu aman kok. Kamu bisa istirahat di sana."

Anak itu menggeleng lagi. Memang ajakannya sedikit terdengar seperti penculik yang sedang melontarkan kebohongan agar targetnya mau ikut dengannya. Tapi ketahuilah, ia benar-benar ingin menjaganya dan mengurusinya.

"Kamu mau es krim? Dekat sini ada toko es krim kalau gak salah," kata Elisa.

Mata anak itu melebar. "Es krim? Sean mau es krim ...." katanya lirih.

Senyum Elisa merekah. "Yaudah ayo ikut ibu. Kita beli es krim banyak-banyak ya?"

Mereka berdua pun berjalan menyusuri gang itu, Elisa menggenggam tangan anak itu erat dan penuh kehangatan bagaikan seorang ibu yang sedang berjalan dengan anaknya. Saat tangan kecil itu bertaut dengan tangannya, wanita itu merasa diberikan tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga si pemilik tangan kecil itu, ia tidak ingin melepas genggaman itu. Ia ingin terus menggenggam tangan kecil itu sampai tangan kecil itu tumbuh menjadi lebih besar dari tangannya sendiri.

"Sean mau rasa apa?" tanya Elisa.

"Yang hijau itu, mau," pintanya sambil menunjuk ke pendingin es krim. Elisa pun memesan es krim rasa mint chocolate untuk anak yang ia panggil Sean itu.

Setelah memesan, Sean memakan es krimnya. Sambil menunggu taksi datang, Elisa berbincang ringan dengan anak yang baru ia temui beberapa waktu lalu. Banyak hal yang harus ia ketahui tentangnya.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang