12

77 15 4
                                    

Tw // blood

"Sean."

"Hm?" Sean yang sedang menonton TV melirik ke arah Mamanya sekilas.

"Kamu gak dibully juga kan sama orang-orang yang ngebully Kizi?" tanya Elisa.

Kedua bola matanya bergetar. Ia sedikit terkejut dengan pertanyaan Elisa. Pundaknya yang tadinya lemas bersandar di sofa menjadi tegang.

"Enggak kok, Ma. Emang kenapa?"

"Ya kalo kamu dibully mending pindah aja, mama gak mau kamu dibully," kata Elisa sambil merangkul anak kesayangannya.

Sean memegang tangan Elisa dan mengelus punggung tangannya. "Enggak, Ma. Sean aman-aman aja, lagian masa iya pindah gitu aja? Nanti Kizi sama siapa? Mama sendiri kan yang bilang aku harus jagain dia," katanya.

"Iya sih ... tapi mama juga gak mau kamu kayak Kizi. Gak tega tau mama liatnya."

"Mama tenang aja. Intinya aku gak kenapa-kenapa. Selama aku gak ada luka tandanya aku baik-baik aja," kata Sean mencoba untuk meyakinkan mamanya kalau ia baik-baik saja selama sekolah di SMA Belamour.

"Luka itu gak cuma berdarah atau memar loh. Perasaan kamu juga bisa luka, bedanya gak keliatan aja. Malah bisa aja lukanya lebih parah dari berdarah atau memar itu, dan kalau lukanya udah terlalu parah jadi susah buat diobati. Lebih susah dibanding mengobati luka yang bisa dilihat pakai mata," ujar Elisa.

Elisa itu seperti malaikat pelindung yang datang di kehidupan Sean. Semua yang sudah wanita itu lakukan kepadanya tidak akan pernah bisa terbayar oleh apapun. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau ia tidak bertemu dengan Elisa. Mungkin saja ia sudah tidak ada di dunia ini kalau ia tidak bertemu Elisa saat itu.

Mata Sean berkaca-kaca. Ia hampir menangis tapi masih bisa menahannya. "Mama ihh jangan mulai deh, Sean gak mau nangis malem-malem," protesnya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Laah mama cuma ngomong kok, mama gak ada niatan bikin Sean nangis," balas Elisa sambil tertawa kecil. "Yaudah kalo gitu kamu istirahat deh, pasti capek banget kan hari ini?"

Sean mengangguk. "Oke, deh Sean ke kamar ya." Ia beranjak dari sofa lalu melangkah menuju kamarnya. Tepat saat ia menyentuh gagang pintu terdengar suara benda kaca yang dilempar dan pekikan yang sangat kencang.

"Kak stop! Jangan kayak gini!"

Sontak Sean terdiam, lalu ia menoleh ke arah Elisa yang juga mendengar suara itu. "Mama denger?" tanyanya lalu dibalas anggukan kaku oleh Elisa.

Sean kenal betul dengan suara itu. Ia pun melangkah ke luar rumahnya dan memakai alas kakinya. "Ma, Sean mau ke rumah sebelah dulu ya. Sean takut kak Julia kenapa-napa."

"S-Sean! Mama ikut, sebentar." Elisa berjalan menuju dapurnya lalu mengambil sebuah penggorengan entah untuk apa. Ia pun menghampiri Sean yang sudah berada di teras.

Begitu melihat barang yang dibawa Elisa, mata Sean terbelalak. "Mama ngapain bawa itu?! Emang Mama mau masak?" tanya lelaki itu heran.

"Ini tuh senjata, Sean. Takutnya kan nanti ada apa-apa. Udah ayo cepetan jalan," balas Elisa.

Mereka berdua pun berjalan menuju rumah Julia yang berlokasi tepat di samping rumah mereka. Tanpa basa-basi mereka membuka pagar rumahnya yang untungnya tidak digembok.

"Kak Julia! Ini Sean, buka pintunya!" sahut Sean sambil mengetuk pintu rumahnya berkali-kali. Untuk beberapa saat hening hingga akhirnya suara seorang lelaki menjawab Sean.

"Julia lagi ada urusan, anda pulang saja!" balas seorang pria dari dalam rumah.

"Tadi saya dengar kak Julia teriak, saya harus tau apa yang terjadi dengan kak Julia! Cepat buka pintunya atau saya dobrak!" ancam Sean tanpa berhenti mengetuk pintu rumah Julia.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang