40

52 12 1
                                    

"Yaudah. Pas itu Kiara ternyata ngeliat dan ngerekam semuanya. Malemnya dia ngirim video itu, dia ngancem gue buat putus sama Kizi dan bilang ke Kizi kalo gue pacaran sama dia cuma mau ngejebak. Padahal gue juga dijebak di sini, tapi Kizi taunya cuma dia yang dijebak. Selama ini gue dipaksa buat ngejauhin Kizi dan kadang dipaksa buat ngejahatin dia. Kalo gue ngelawan, video itu bakalan Kiara sebar, yang mana pasti ngerugiin Kizi juga, jadi gue terpaksa ngelakuin hal-hal yang gak mau gue lakuin."

Reno tercengang. Ia benar-benar tidak bisa memproses semua yang baru saja ia dengar. "Kalo boong gue doain charger HP lo rusak," ancamnya.

"Ngapain juga gue boong sih?" balas Tara ketus.

"Terus lo mau gue bantu apa?" tanya Reno.

"Kasih tau semua yang gue omongin ke Kizi."

Reno menghela napasnya kasar. "Anak TK ya lo? Kenapa gak ngomong sendiri aja sih? Toh kalian masih bisa ketemu lima kali seminggu," ujarnya remeh.

"Dia gak pernah mau dengerin gue, tiap gue coba ngomong dia pasti langsung pergi, di chat juga dia langsung block gue," gerutunya.

Reno berusaha menahan tawanya. Di balik sifat menjengkelkan Tara ternyata ada nasib jelek yang membuatnya terlihat sangat menyedihkan. Ternyata benar, semua orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

"Terus kalo Kizi juga gak percaya sama gue gimana?" tanya Reno.

"Dia pasti percaya sama lo. Lo satu-satunya orang yang Kizi percaya sekarang," balas Tara penuh keyakinan.

"Yaudah deh gue coba, mumpung dia lagi di rumah gue juga."

Alis Tara bertaut, dahinya juga mengkerut. "Hah? Kizi ada di rumah lo?"

"Hah enggak kok, salah denger lo. Udah ah gue mau kencing gak jadi-jadi." Lelaki itu pun masuk ke dalam salah satu bilik toilet meninggalkan Tara dengan kepastian yang belum jelas.

Setelah beberapa lama lelaki itu pun keluar dan berjalan menuju kelasnya. Langkahnya lurus mendekati Pak Hujan. "Pak maaf, saya boleh eval ulang gak?" pintanya.

"Hm? Kenapa?" tanya Pak Hujan.

"Itu ...." Sean mendekatkan wajahnya ke arah telinga Pak Hujan. "Tadi yang ngerjain bukan saya," bisiknya.

Saat itu juga Pak Hujan mengerti. Sebagai guru tentu saja ia mengetahui hal ini agar ia bisa memaklumi jika hal-hal di luar kendali terjadi pada muridnya. "Oh begitu, boleh kok. Tapi pulangnya jadi agak sore, gapapa?"

Sean mengangguk. Ia pun menerima kertas evaluasi yang masih kosong melompong tanpa jawaban. Lagi-lagi para murid kelas 2A memandanginya bingung, tetapi Sean memilih untuk mengabaikannya.

Walaupun ia sedikit kesusahan saat mengerjakan evaluasi, tapi tidak apa-apa. Setidaknya ia tidak menggunakan jurus ngasal seperti yang Reno lakukan sebelumnya. Ia masih punya keinginan untuk mendapatkan nilai yang bagus.

Disaat murid lain sudah mulai mengumpulkan evaluasinya masing-masing, Sean masih duduk dengan otak yang hampir berasap karena terlalu banyak berpikir. Begitu murid-murid lain sudah meninggalkan kelas, Sean masih berkutat dengan lima soal essay.

"Haa akhirnya selesai juga," gumamnya setelah selesai mengerjakan semua soal. Ia pun mengumpulkan kertas evaluasinya lalu merapikan barang bawaannya dan keluar kelas.

Tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kelas, seseorang menghadangnya. "K-kenapa ya?" tanyanya.

"Jangan lupa."

Sean memiringkan kepalanya. "Lupa apa?"

"Bilang ke Kizi apa yang gue kasih tau ke lo tadi," balas lelaki di hadapannya.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang