22

58 13 0
                                    

"Kita mau ke mana, Ma?"

"Kita mau ... ketemu super hero," balas Elisa membuat Sean membelalakkan matanya.

"Super hero?! Mama punya temen yang kerjanya jadi super hero?" tanya Sean antusias.

Ia sudah menduga kalau reaksi anak itu akan sedikit berlebihan. "Punya dong, mama punya kenalan super hero. Dia suka bantuin orang yang sedang butuh pertolongan," jawabnya sambil tertawa kecil.

"Woah, keren banget. Sean pikir super hero cuma ada di bioskop." Matanya berbinar, tidak sabar untuk bertemu teman mamanya yang bekerja sebagai super hero itu. Kira-kira seperti apa wujudnya? Apakah seperti Superman yang mengenakan jubah merah? Atau seperti Thor yang membawa sebuah palu besar?

Sengaja Elisa tidak secara terang-terangan memberi tahu kalau mereka akan menemui seorang psikiater, khawatir anak itu akan menolak ajakannya. Kalau Sean menolak akan susah lagi untuk membujuknya agar mau menemui psikiater.

"Kenapa kita ke rumah sakit? Super heronya lagi sakit?" tanya Sean begitu mereka menginjakkan kakinya di lobby rumah sakit.

"Enggak, super heronya kerja sampingan jadi dokter."

"Ooh gitu. Keren banget, pasti sibuk ya dia?"

Elisa mengangguk. "Iya, sibuk banget. Yuk kita langsung ketemu sama dia," kata Elisa. Mereka pun berjalan ke ruangan untuk konsultasi dengan sang psikiater.

"Pagi, Bu Elisa dan ... Dek Sean?" sapa seorang pria dengan jas putih yang melekat di tubuhnya dan terdapat nametag dengan tulisan "Raihan Anggara."

"Pagi, Dokter. Sean ayo bilang pagi dulu," perintah wanita itu.

"Pagi, Pak Super Hero," sapanya sambil mengangkat tangannya sejajar dengan dahinya.

Pria itu menatap Sean dan Elisa bergantian, sangat terlihat jelas kalau pria itu bingung. Tapi dengan cepat ia berimprovisasi dengan keadaan. "Wah-wah, kok kamu bisa tau saya itu super hero? Apa penyamaran saya kurang?" tanyanya.

"Mama yang kasih tau, hehe. Ternyata rahasia ya, Sean pikir semua orang tahu," katanya sambil tersenyum kikuk.

"Mama kamu udah kasih tau hari ini kita mau ngapain aja?" tanya pria itu lalu dibalas gelengan kepala oleh Sean. "Jadi hari ini kita mau berbincang santai. Sean udah pernah berbincang sama super hero belum?"

"Belum, mereka tinggal di luar negeri semua, jadi Sean gak bisa ketemu. Sean juga gak bisa bahasa Inggris."

Satu hal yang tidak masuk akal bagi Elisa, tadi anak itu bilang kalau dirinya tidak pandai berbahasa inggris. Tapi kemarin anak itu sempat berbicara dengannya menggunakan bahasa inggris.

"Waduh sayang banget. Yaudah ayo kita langsung mulai aja, Sean boleh duduk di situ ya." Pak Angga mengarahkan tangannya ke sebuah kursi hitam yang menghadap ke sebuah meja. Sean dan Elisa pun duduk di sana lalu Pak Angga duduk di hadapannya.

Mereka mulai berbincang-bincang, diawali dengan beberapa gimmick yang Pak Angga lalukan seperti membahas rekannya yang juga bekerja sebagai super hero, menceritakan kesehariannya sebagai super hero. Tentu saja itu semua hanyalah bualan. Setelah Sean mulai merasa nyaman, barulah mereka memulai sesi konsultasi.

"Sean, dokter mau tanya. Apa sih pengalaman yang paling serem bagi Sean?" tanya Pak Angga.

"Paling serem? Mm ... kayaknya gak ada. Sean gak pernah ketemu setan," jawab anak itu polos.

Pak Angga terkekeh, ia tidak menyangka jawaban Sean akan seperti itu. "Serem itu gak cuma hantu, Sean. Bisa juga seperti ketemu orang jahat atau Sean pernah dipukul sama orang? Itu serem juga, 'kan?"

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang