49

82 16 0
                                    

"Kak, ada yang perlu disiapin? Kalo sidangnya udah selesai telepon aku ya. Aku sebenernya mau ikut tapi ada kelas, tapi kalo butuh sesuatu langsung telepon aja gapapa. Aku bisa langsung izin kelas," ucap Julia sambil merapikan rambut sang kekasih. Perempuan itu sampai tidak bisa tertidur nyenyak karena hari ini adalah hari yang sangat penting.

"Gapapa, doain aja semoga semuanya lancar sama cepet selesai. Makasih juga ya udah bolehin nginep beberapa hari ini," balas Aidan. "Aku berangkat ya." Lelaki itu memeluk Julia lalu mengusak rambut perempuan itu pelan sebelum menghampiri sang adik dan Elisa serta Sean.

Hari ini mereka akan mengikuti sidang untuk menentukan apakah Angel dan Arslan benar-benar bersalah dan harus diberikan hukuman. Tidak ada yang tahu bagaimana hasil sidang nanti, dan itulah yang membuat Aidan gugup.

"Ma, Zi! Kak Aidan udah dateng nih!" seru Sean dari pintu rumah. Lantas Kizi dan Elisa berjalan menuju pintu rumah dengan pakaian formal mereka.

Mereka pun berangkat ke lokasi sidang menggunakan mobil Aidan. Selama perjalanan mereka semua terutama Elisa tak henti-hentinya berdoa demi kelancaran sidang kali ini. Bahkan suara radio mobil yang biasanya memutar lagu-lagu agar suasana pagi terasa damai tidak mampu mencairkan suasana yang kelewat tegang ini.

Begitu tiba di ruang sidang, Kizi bisa melihat kedua orang tuanya duduk tak jauh dari tempatnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat wajah-wajah itu. Aura yang dipancarkan Angel dan Arslan benar-benar membuat dirinya merasa ingin melarikan diri.

Tepat jam 9 pagi mereka mulai melaksanakan sidang. Suasana tegang ini sangat asing bagi Kizi. Jantungnya berdegup sangat kencang, ia khawatir akan membuat kesalahan dan berujung merugikan dirinya sendiri. Perempuan itu mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Sesekali ia menoleh ke arah Sean di bagian kursi hadirin lain, lelaki itu diam-diam mengangkat tangannya yang dikepal guna menenangkannya agar tidak gugup.

Sidang dilaksanakan secara tertutup selama satu jam setengah. Rasa tegang yang Kizi rasakan berakhir setelah hakim menjatuhkan pidana pada terdakwa dengan pidana 3 tahun penjara. Para hadirin yang mengikuti sidang satu persatu mulai meninggalkan ruangan, begitu juga dengan Sean dan Elisa.

"Tegang banget, Ma. Berasa liat drakor," celetuk Sean.

Elisa tertawa kecil melihat reaksi anaknya. "Namanya juga sidang, kalo gak tegang mah namanya party," guraunya sambil mengelus pundak sang anak.

Disaat Elisa sedang berdiri memandangi banyak orang yang lalu lalang, seseorang memeluknya dari belakang hampir membuat wanita itu tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Lantas ia menoleh untuk melihat siapa yang baru saja memeluknya.

"Hai, Ma." Seorang perempuan dengan senyum lega di wajahnya tertangkap di indra penglihatan Elisa.

"Hai juga, Kizi. Selamat ya, kamu hebat," ucap Elisa sambil menyugar rambut panjang perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya ke Aidan. "Aidan juga hebat." Ia sangat bangga dengan dua bersaudara ini. Mereka bisa menyelesaikan masalah mereka yang sangat berat di umur mereka yang terhitung muda.

"Berarti habis ini Kizi udah gak tidur di rumah aku ya?" tanya Sean.

"Iya, nanti kita pulang," balas Aidan. "Tapi gak ke rumah lama," lanjutnya.

Kizi membelalakkan matanya. "Maksud Kakak gimana? Kita ke rumah siapa?"

"Ya ke rumah yang baru. Deket sama sekolah baru kamu."

Kizi tidak pernah tahu kalau Aidan berencana untuk pindah rumah. "Ngapain pindah rumah, Kak?"

"Kamu mau tinggal di tempat kamu dipukul sama ditendang? Kakak sih ogah ya," timpal Aidan. Ia tidak mau lagi menghirup udara di rumah lamanya yang memberikan banyak luka untuknya. Ia ingin memulai hidup baru.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang