42

43 10 1
                                    

"Sebentar, Bu!" Seseorang dari depan pintu rumah memanggilnya, lantas Elisa menolehkan kepalanya. Matanya membelalak sama seperti saat ia melihat Arslan di rumah itu.

"Mas bukannya yang ...."

Lelaki itu mendekati Elisa. Ia menekuk lututnya dan meraih kedua tangan wanita itu membuatnya bingung. "Tolong kasih tau di mana Kirisha," pintanya memelas.

"K-Kamu ...."

Elisa masih butuh waktu untuk memproses ini semua. Untuk beberapa saat wanita itu lupa kalau Kizi memiliki seorang kakak laki-laki, dan orang itu adalah Aidan, lelaki yang sempat membuat keributan di samping rumahnya.

"Iya, saya yang dulu pernah bikin keributan di samping rumah Ibu. Saya bener-bener nyesel, saya minta maaf. Sekarang saya minta untuk kasih tau di mana adik saya, Kirisha," sela lelaki itu.

"Sejak dulu saya gak pernah berani lindungin adik saya dari kelakuan orang tua saya yang kasar. Yang saya pikirin cuma diri saya sendiri. Saya takut kalau lindungin dia, saya juga kena imbasnya. Sekarang saya sadar itu salah, bagaimanapun saya harus melindungi adik saya satu-satunya."

Elisa bisa merasakan apa yang lelaki itu rasakan. Penyesalan yang begitu besar hanya karena rasa takut di benaknya sendiri. Perlahan wanita itu melepaskan genggaman tangannya lalu menyuruh lelaki di hadapannya untuk berdiri.

"Ayo ikut saya," perintahnya.

"Saya antar, Bu. Mari naik mobil saya," ujar Aidan. Sangat sopan, berbeda dengan apa yang Elisa lihat saat mereka pertama kali bertemu. Dengan menggunakan mobil milik Aidan mereka pergi ke rumah Elisa, tempat di mana Kizi tinggal untuk beberapa hari ini.

Jantung Aidan berdegup kencang, ia pikir ia tidak bisa melihat adiknya lagi untuk selamanya. Memang hubungannya dengan sang adik tidak begitu baik, tapi di dalam hatinya ia selalu ingin mencoba menjalin hubungan layaknya saudara pada umumnya. Sayangnya ia tidak tahu bagaimana caranya, dan sekarang ia akan melakukannya dengan caranya sendiri.

"Adik Mas aman sama saya, gak usah khawatir," ujar Elisa di tengah sunyinya mobil. "Maaf ya kalian harus lewatin ini semua sendirian, semoga orangtua kalian bisa mendapatkan pencerahan suatu hari nanti," lanjutnya lagi.

Aidan mengangguk pelan. "Udah takdir saya sama adik saya, Ibu gak usah minta maaf. Yang salah kan bukan Ibu," balasnya.

"Tapi saya juga orangtua, jadi saya mau wakilin mereka untuk minta maaf, walaupun saya tau maaf aja gak cukup ...," balas Elisa.

Suasana mobil kembali hening. Aidan tidak tahu kalau kata maaf bisa membuatnya merasa terenyuh. Kata maaf tidak pernah keluar dari mulut orangtuanya sekalipun. Awalnya ia pikir semua anak memiliki orangtua yang keras, tapi sepertinya ia keliru.

"Andai Ibu dan ayah saya gak cerai dan saya lahir sebagai anak Ibu, pasti semuanya gak akan serumit ini," ujar Aidan.

Elisa tersentak, tak lama kemudian wanita itu menoleh ke arah Aidan perlahan. "Masnya denger ya?" tanyanya.

Aidan tersenyum tipis. "Gimana gak denger? Suara Ibu lantang banget. Walaupun gak terlalu jelas maksudnya apa, tapi saya cukup pintar untuk menyimpulkan apa yang dimaksud dengan keputusan yang ayah saya buat 22 tahun yang lalu."

Wanita itu menghela napasnya. "Ya ... kalau saya gak pisah sama Arslan, Masnya dan Kizi gak akan lahir dong," balasnya. "Saya juga gak akan bisa ketemu Sean. Menurut saya, alur kehidupan saya yang ini udah termasuk alur yang cukup indah," lanjutnya.

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang