37

54 12 1
                                    

"Yuk masuk? Tante baru bikin lasagna, kamu pasti laper, 'kan?" tanya Elisa dengan intonasi yang sangat lemah lembut. Ia pun merangkul perempuan itu dan membantunya berjalan masuk ke dalam rumah.

Kehangatan di rumah ini seakan-akan memeluk Kizi erat, berbeda dengan rumah yang ia tinggali selama seumur hidupnya. Apakah memungkinkan baginya untuk tinggal di rumah ini dalam waktu yang lebih lama? Atau untuk selamanya?

"Mamaaa! Tolong, Ma! Sean melepuh!"

Begitu mendengar pekikan sang anak, Elisa mempercepat langkahnya lalu menghampiri sang anak. Ia bisa melihat lantai dan meja makan menjadi kotor akibat tumpahan potongan lasagna yang baru saja selesai ia masak.

"Yaampun, Sean. Kamu gapapa? Aduh, Nak kamu ini ...." Elisa tersenyum kecil berusaha menahan tawanya. Tingkah ceroboh anaknya tidak pernah gagal membuat senyumnya mengembang.

Mata Sean memicing menatap tajam sang mama. "Mama jangan ketawa ihh, Sean sakit loh ini. Sean terluka, Sean butuh pertolongan pertama," keluhnya sambil mendekatkan tangannya yang terasa panas karena terkena tumpahan lasagna ke wajah Elisa.

"Iya iyaa mama gak ketawa kok. Sebentar mama mau urusin anak mama yang lain," balasnya tak acuh. Wanita itu berjalan menuju ruang tamu.

Mata Sean membelalak. "Maksud Mama?! Wah Mama diem-diem gini ya ...." Lelaki itu pun berjalan mengikuti Elisa dari belakang. Betapa terkejutnya ia saat melihat seorang perempuan yang ia kenal betul penuh memar dan luka sedang berdiri di ruang tamu.

Lantas ia berlari kecil mendekati perempuan itu. Matanya mendadak berkaca-kaca. Bagaimana tidak? Tidak ada orang di dunia ini yang tidak sedih jika melihat seseorang yang disayang terluka seperti ini.

"Kizi! Zi, kamu kok ... Zi kamu ...."

"Maaf ya, Sean. Aku gak nepatin janji, aku mau minta tolong kamu tapi gak keburu," lirih Kizi dengan tatapan yang sayu dan senyum tipis.

Sean menggeleng kencang. "Enggak! Kizi gak salah sama sekali, aku yang salah. Ayo sekarang cepet obatin dulu, terus Kizi makan. Ma bantuin Kizi obatin lukanya bisa?" pintanya.

Elisa mengangguk, ia menyuruh Kizi untuk duduk di sofa ruang tamu. Ia pun mulai mengobati memar di wajahnya dan luka di bagian tubuh lainnya. Walaupun wanita itu terlihat tenang, di dalam hatinya ia merasa sangat marah. Ia akan pastikan seseorang yang berani melukai anak perempuan ini akan mendapatkan balasan yang sama, atau lebih berat dari ini.

Setelah merekatkan perban di siku Kizi yang luka, Elisa pun berdiri dan memegang kedua pundak perempuan itu. "Makan, yuk?" ajaknya. Kizi perlahan berdiri dan mereka bertiga berjalan menuju meja makan.

"Zi awas itu lantainya kotor," kata Sean sambil menunjuk ke arah tumpahan lasagna yang tak kunjung dibersihkan.

"Nak Kizi suka lasagna, 'kan?" tanya Elisa. Kizi menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil.  Wanita itu pun menaruh sepiring lasagna di depan Kizi.

"Mari makaan, jangan lupa berdoa ya anak-anak," perintah Elisa lalu menundukkan kepalanya untuk berdoa, begitu juga kedua anak di hadapannya. Setelah berdoa mereka makan dengan tenang. Ini kali keduanya ia makan tanpa rasa cemas dan gelisah. Tidak ada bentakkan atau hinaan dan sindiran yang dilontarkan untuknya.

"Makan yang banyak ya, Kizi. Di sini kamu gak perlu takut, kamu punya tante, Sean, Tian, juga Reno. Kita semua ada buat kamu," tutur Elisa hangat. Saking hangatnya membuat Kizi tak kuasa menahan air matanya. Dengan cepat ia menyekanya dengan telapak tangannya.

"Maaf, aku cengeng," ujar Kizi.

Sean memandangi wajah temannya dengan perasaan iba. Ia menepuk-nepuk pundak Kizi perlahan. "Nangis itu bukan berarti cengeng, Zi."

Hello StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang