Aruna pikir Gama akan hilang. Tapi tidak. Laki-laki itu justru semakin intens menghubungi Aruna. Meski jarang membalas pesan, tapi Gama tidak pernah mangkir menelepon Aruna setelah seluruh kesibukannya usai, yang mana artinya laki-laki itu akan menelepon di atas pukul sepuluh malam. Dan Aruna, dengan kelapangan dadanya, merelakan jam tidurnya demi sekadar mendengar suara lembut Gama selama dua hingga tiga jam lamanya setiap malam.
Ralat.
Tidak hanya jam tidur malamnya, tapi begitu pula dengan paginya. Hampir tiap malam, Gama melaporkan pada Aruna jam kuliahnya di esok hari. Dan dengan sangat sopannya, ia selalu bertanya, "Aruna, kalau udah bangun, boleh nggak telepon aku supaya aku nggak kesiangan? Kalau nggak ada yang bangunin, aku suka skip sampai jam dua belas siang."
Dan Aruna, hampir setiap hari merelakan sekian menit dari jam tidurnya untuk bangun lebih awal, demi menelepon Gama satu jam sebelum kelasnya berlangsung. Tapi Aruna senang melakukannya. Sebab Gama selalu meminta Aruna untuk membangunkannya satu jam sebelum kelas berlangsung, yang mana artinya, mereka selalu punya satu jam untuk bicara di pagi hari.
Pagi ini, sudah tiga puluh menit Gama dan Aruna bicara di telepon. Gama sepertinya masih bermalas-malasan di kasurnya, sebab Aruna bisa mendengar Gama masih mengeluh dengan suara khas bangun tidur. Sementara Aruna sendiri, sudah sibuk dengan kain pel yang sejak tadi bolak-balik mengusap lantai rumahnya.
"Kamu kok rajin banget, Aruna, jam segini udah bangun?" tanya Gama. "Aku nggak usah mandi kali, ya? Kayaknya ngobrol sama permaisuri tercantik se-Asia Tenggara bakal bikin aku kecipratan wanginya."
Kontan kegiatan Aruna terhenti. Gadis itu sedikit memperbesar volume headphone bluetooth yang melingkupi telinganya. Ia tertawa pelan menanggapi ucapan Gama. "Masih pagi udah gombal, ya, Gama!"
"Eh, aku nggak gombal, lagi," balas Gama. "Itu kan fakta. Pasti permaisuri kalau nggak mandi bakalan tetap wangi, kan?"
Aruna menggeleng-gelengkan kepalanya kini. Entah bagaimana, tingkah yang seharusnya membuat Aruna ilfeel ini justru membuatnya senang. Gama benar-benar lucu dengan segala kesederhanaannya. Aruna sepertinya menyukainya.
"Jadi beneran nggak mau mandi nih?" tanya Aruna. Gama bergumam. "Ya udah terserah kamu, sih. Yang penting jangan kuliah pakai piyama ya."
"Eh, nggak apa-apa aku nggak mandi?" tanya Gama.
Aruna mengangguk, "Ya nggak apa-apa, lagi. Emang kenapa?"
"Kamu kok baik banget sih?!" balas Gama dengan penuh semangat. Tiada lagi nada malas-malasan seperti dua menit lalu. "Permaisuri tuh nggak ada yang jahat sih, pasti. Kamu pengertian banget."
Mulai lagi.
Obrolan mereka terus berjalan selagi Aruna terus mendorong dan menarik kain pel yang sudah melewati tiga perempat bagian dari rumahnya. Gama mulai bercerita mengenai tugas-tugas yang diberikan oleh dosennya. Lebih tepatnya, laki-laki ini sedang mengeluh. Dan Aruna setia mendengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...