"Dek!" panggilan itu datang bersama dengan ketukan pada pintu kamar Aruna. Itu suara Pram, abangnya. Seketika, Aruna yang baru saja berbaring lima menit, lantas bangkit dari kasurnya. Ia membukakan pintu, menatap laki-laki dengan kaus putih yang berdiri di balik pintu kamarnya. "Ada yang nyari tuh. Cowok."
"Siapa?" tanya Aruna.
Pram menggeleng, tidak tahu siapa laki-laki yang datang. Aruna tidak bertanya lebih lanjut, berhubung si sulung juga langsung berbalik dan kembali ke kamarnya. Entah siapa laki-laki yang datang, tapi, Aruna akan menemuinya di teras. Masalahnya, ia hanya berdua dengan Mas Pram, dan laki-laki itu bahkan mengurung dirinya di kamar. Kedua orang tuanya sedang menjemput Shadita entah dari mana, Aruna pun tidak peduli. Mana mungkin Aruna mengajak teman laki-laki masuk ketika rumah sesepi ini.
Aruna keluar, mendapati motor yang tidak asing di matanya. Tamunya itu duduk di kursi kayu di teras, menunggunya. Baru Aruna menoleh untuk melihat siapa yang datang, laki-laki itu langsung sigap berdiri di hadapannya, mencengkeram bahunya kuat, lalu mendekapnya tanpa aba-aba. Aruna mendelik, kaget dengan perlakuannya yang begitu tiba-tiba.
"Gam, jangan peluk-peluk," tolak Aruna lembut, sambil melepaskan dekapan Gama. Jelas, Gama kecewa. Bibirnya mengerucut, rasa bersalah langsung tergambar jelas di wajahnya. "Kenapa ke sini?"
"Kita harus ngobrol, Aruna," ujar Gama memelas. Tangannya yang tadi Aruna singkirkan, kini menangkup pipi Aruna. "Please. Kamu harus dengerin aku, bukan dengerin orang lain."
Aruna sudah tahu arah pembicaraan ini, pasti ada hubungannya dengan Denara. Entah apa yang terjadi di Bandung selama Aruna tidak menghubunginya. Mungkin Denara sudah mulai mendekatinya dengan lebih buas? Tidak ada yang tahu.
"Aku baru pula—" Aruna hampir menyelesaikan kalimatnya ketika otaknya langsung ingat bahwa Gama sudah jauh-jauh dari Bandung. Perjalanan pulang Aruna tidak sebanding dengannya. "Oke, tapi kita ke luar, ya? Nggak di rumah. Nggak ada siapa-siapa di rumah, cuma Mas Pram."
Gama mengangguk. Aruna segera masuk untuk mengambil tasnya, lalu mereka pergi, menuju Koti Kopi, di Jalan Nusantara Raya, Pancoran Mas, Depok. Perjalanan mereka tidak diisi obrolan apapun. Gama fokus pada jalanan di depannya, sementara Aruna sibuk curi-curi pandang kepada Gama, sambil berpikir, apa yang harus ia katakan padanya nanti.
Keduanya sepakat untuk duduk di rooftop, barangkali langit akan indah sore ini, ditambah lagi Aruna yakin Gama butuh menghabiskan waktu bersama rokoknya. Ia tahu sekali, Gama akan lebih rileks bercakap ketika rokok setia bertengger di bibirnya.
"Aruna," panggil Gama ketika Aruna sedang sibuk-sibuknya mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati tempat yang didominasi dengan acian semen yang tidak dicat. Kata orang-orang, konsep proyek mangkrak, namanya, dan di sanalah letak estetikanya. "Kenapa kamu nggak bales semua chat aku?"
Perhatian Aruna jatuh pada Gama kemudian. "Kalau aku balikin, bisa? Dulu, kamu juga ninggalin aku dengan cara yang sama. Sekarang kamu tau sakitnya, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Novela Juvenil[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...