Alunan lagu Blue Jeans milik Gangga seketika terjeda, begitu pula jari-jemari Aruna yang menari di atas tuts mesin tik. Ada telepon masuk yang menginterupsi kegiatannya. Tidak ada nama yang tertera di layar ponselnya. Sambil melangkah menuju kasurnya, Aruna menerima telepon tersebut, mendengar sapaan dari seberang.
"Halo, Assalamu'alaikum."
Aruna baru ingin menyambut sapaan tersebut, tapi lidahnya kelu. Gadis itu menarik ponsel dari telinganya, memastikan siapa yang meneleponnya malam-malam begini. Benar, tidak ada namanya. Tapi Aruna tahu ini suara siapa. Aruna juga sangat familier dengan nada bicara ini.
Mendadak, jantungnya berdentum-dentum. Balasannya terbata-bata, "I-iya ... Wa'alaikumus Salam. Ada perlu apa?"
"Aruna, masih inget aku? Gimana kabarnya?" bukannya menjawab pertanyaan Aruna, justru laki-laki itu bertanya. Tapi, sepertinya ia kelewat gugup, sebab tanpa menunggu Aruna merespons pun, ia sudah bicara lagi, "Maaf ya, tiba-tiba ganggu. Kamu ... belum tidur, Aruna?"
Aruna tertawa pelan. Laki-laki ini mungkin berprasangka Aruna akan gegas mengakhiri teleponnya ketika sudah sadar bahwa ia yang menelepon. Padahal, kenyataannya tidak sama sekali. Aruna masih menyambutnya dengan penuh hangat.
"Kenapa emangnya harus lupa sama kamu?" tanya Aruna singkat. Gadis itu berbaring di kasurnya, lalu mengaktifkan loudspeaker. "Kabarku baik. Aku lagi main sama mesin tik."
"Nulis puisi lagi?" tanya lawan bicaranya yang perlahan-lahan mulai kehilangan canggungnya.
"Iya. Iseng aja, sih."
"Oh. Kupikir kamu udah mau nulis buku puisi lagi."
Bibir Aruna menciptakan senyum tipis di wajahnya. "Nggak, kok. Belum dalam waktu dekat. Kan, baru kemarin aku rilis buku puisi. Kamu tau, nggak?"
Gama bergumam. "Iya, aku tau. Aku baca, Aruna," akunya. Dan, senyum Aruna semakin melebar. Namun, meski begitu, matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Setetes air matanya mengalir, menuruni pelipisnya hingga jatuh ke seprei putih yang membalut kasurnya. "Aruna, gimana kuliah kamu? Aman, kan?"
"Iya, Gama. Aman," jawab Aruna sambil terkekeh pelan. Laki-laki ini mendadak kaku sekali. "Kamu sendiri gimana di Bandung? Kuliah, bisnis, organisasi, semua aman?"
"Aman," jawab Gama singkat, yang kemudian dilanjutkan dengan sedikit keluhan atas beberapa hal yang menghambat kegiatannya di Bandung. Entah itu pekerjaannya yang kadang bentrok dengan rapat himpunan, entah tanggung jawab di himpunan yang mengganggu kuliahnya, hingga mulai hilangnya minat Gama pada perkuliahan, semuanya ia ceritakan serinci-rincinya.
Baru kali ini, Aruna berhasil mendengar cerita Gama sebanyak ini tanpa jeda. Terhitung mereka menghabiskan satu jam untuk cerita Gama sendiri, seraya Aruna merapikan barang-barangnya yang masih bersepah di atas meja kerjanya. Pun, gadis itu merapikan kasurnya, agar nyaman Aruna melanjutkan percakapan sambil tiduran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...