// 40: Zona Nyaman

577 92 35
                                    

Gerai J

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerai J.Co di City Plaza Jatinegara jadi pilihan singgah Aruna dan Gama. Keduanya kini sudah duduk di kursi yang berhadapan, saling diam dengan dua minuman dan donat sudah tersedia meski belum tersentuh sama sekali.

"Ada apa, Gam?" tanya Aruna selembut dan setenang mungkin, berusaha untuk tidak mengintimidasi Gama dan memaksanya menceritakan masalahnya. "Kamu nyamper aku mau cerita, atau cuma mau ketemu? Kamu bolos kuliah, ya?"

Gama tersenyum kikuk, lalu mengangguk. "Bolos sampai besok, udah tipsen sama Ashlan sama Ridho," katanya, mengundang tawa kecil Aruna yang tidak menyangka Gama juga bisa titip presensi. "Aruna, aku tuh mau cerita sama kamu tentang sesuatu."

Aruna mengangguk, mempersilakan.

Meja mereka kemudian hening. Gama memejamkan matanya sesaat, sebelum menaruh atensinya pada Aruna. Di antara dua jarinya sudah ada satu batang rokok bertengger, belum sempat dibakar. Ia menghela napas, "Kamu pernah nggak, Aruna, merasa kayak ... apapun yang udah kamu lakuin tuh, nggak pernah berpengaruh di mata orang lain. Rasanya kayak, kamu nggak dihargain?"

Mata Aruna memicing. Ia belum pernah melihat Gama setidaksemangat ini. Apalagi membawa cerita setidakmenyenangkan ini. Tanpa mencoba untuk mengulik duluan, Aruna mengangguk, ia tahu bagaimana rasanya memiliki pikiran seperti itu.

"Aku pikir, aku udah berhasil keluar dari middle child syndrome karena aku bisa-bisanya nasehatin kamu waktu itu. Aku juga bilang aku udah keluar, dan aku bahkan bilang caranya gampang. Padahal, bullshit? Di dunia ini tuh, ternyata nggak ada yang gampang, ya?"

Tubuh Aruna menegap. "Kuncinya ada di mindset," gumamnya pelan, berharap Gama tidak mendengarnya, meski nyatanya, laki-laki itu mendengar suaranya.

Gama mengangguk, setuju dengan kata-kata itu. Nasihat itu pula yang pernah diberikannya kepada Aruna dulu, ketika Aruna merasa tidak ada di antara kakak dan adiknya. "I can't train my mind," jawab Gama. "Jadi anak tengah, ketika orang tua kita selalu fokus sama si sulung dan si bungsu, ternyata nggak pernah enak, dan kita nggak bisa denial soal itu. Sedih, ya, Aruna. Bahkan, anak tengah aja nggak punya julukan kayak si sulung dan si bungsu. Nggak adil."

Tidak ada jawaban dari mulut Aruna. Pikirannya justru kilas balik pada semua momen tidak menyenangkan yang pernah terjadi padanya. Berada di posisi seperti inilah yang dulu membuatnya begitu bergantung pada Gama. Aruna selalu berpikir, Gama adalah teman seperjuangannya, yang kelak akan membantunya keluar dari middle child syndrome. Namun, sore ini, jelas sekali bisa Aruna lihat, pahlawannya sedang hancur lebur. Ia sendiri bahkan gagal keluar dari sana.

Gama memantik korek api di tangannya, membakar ujung rokoknya lalu mengisap benda kecil tersebut. Ia melengos sejenak untuk mengembuskan asap, lalu kembali menatap Aruna di hadapannya. "Aku nggak tau aku pantes down karena masalah sepele ini atau nggak, Aruna. Mungkin, rasanya sama, kali ya, kayak kamu yang dulu merasa nggak dapet perhatian dari ayah ibu kamu. Aku yakin, perjuangan kita sama, dan kita sama-sama udah ngelakuin yang terbaik, baik untuk diri kita sendiri, maupun untuk orang-orang di sekitar kita. Ya, walaupun pada akhirnya nggak ada artinya, sih, untuk mereka. Usaha kita nggak dihargain.

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang