Gramedia Matraman sedang ramai-ramainya sore itu. Kemungkinannya banyak, dan Aruna merasa tidak perlu merangkumnya. Lagi pula, sudah sewajarnya toko buku terbesar di Jakarta itu ramai pada akhir pekan menuju malam Minggu begini. Orang-orang kelihatan begitu tenang di rak tujuan masing-masing. Banyak remaja yang mengerubungi rak buku-buku fiksi, bapak-bapak yang berdiri tegak di balik buku-buku self-improvement dan keuangan, pun ada ibu-ibu yang mengawasi anak-anak kecilnya berlarian di buku anak-anak.
Aruna sendiri berdiri di balik jejeran buku-buku sastra bersama dua temannya, Belva dan Hana, yang juga sedang mencari judul paling menarik di antara entah berapa puluh judul yang tersedia. Sementara, perempuan satu lagi, Jian, sedang menghilang entah ke sudut rak bagian mana. Mungkin sedang mencari buku tip-tip jitu mengembangkan sosial media. Maklum, selebgram baru melejit, katanya, Jian masih perlu belajar banyak dan baca buku sesekali. Meski katanya juga, penulis-penulis buku tip-tip tersebut justru kadang bukan berasal dari kalangan pemilik akun Instagram dengan jumlah pengikut ratusan ribu.
"Eh, eh, sumpah! Sini dulu deh, Na!” panjang umur sudah, perempuan dengan pakaian selalu rapi dan mencolok itu tiba-tiba muncul di rak buku sastra, menarik-narik tangan Aruna untuk mengikuti langkahnya, menjauhi dua temannya. “Lo harus liat. Bel, Han, lo juga!”
Belva dan Hana saling tatap sesaat. Belva hanya mengedikkan bahu, dan Hana gegas meletakkan buku yang sedang digenggamnya, lalu mengekori tiga temannya yang sudah melenggang lebih dulu.
Langkah Jian begitu tergesa dan tidak sabaran, membawa Aruna semakin jauh dari rak buku yang tadi mereka singgahi. Jian membawa Aruna sampai depan meja kasir, tepat di depan rak tinggi dengan tulisan Top Ten pada bagian atasnya. Rak eksklusif berisikan sepuluh judul buku yang masuk pada deret best seller.
“Aruna Prameswari, wuuuiiih! Temen gue!” ujar Jian penuh bangga sambil menepuk-nepuk punggung Aruna. Suaranya yang nyaring sukses menyita perhatian beberapa orang. Apalagi ketika gadis itu meraih salah satu buku yang menduduki urutan keenam pada rak tersebut. “Keren banget lo, Na, gila!”
Sekarang, hampir semua orang di sekitar melihat Aruna. Ada yang sambil melihat buku puisi milik Aruna yang mejeng di rak best seller di bagian bawah, ada pula yang masih memandang penuh tanda tanya. Aruna malu sekali. Gila! Sukses Jian menjadikannya pusat perhatian sore itu.
“Eh, Bel, ini boleh ditandatanganin di sini, nggak, sih?” Jian berbalik badan untuk bertanya pada Belva dan bertanya dengan lirih.
Baik Belva, Aruna, maupun Hana mendelik. Lekas, Aruna merebut kembali buku di dalam genggaman Jian. “Sembarangan, lo. Ini kan display toko buku. Dibuka segelnya aja ditegur, apalagi ditanda tanganin.”
Mendengar hal tersebut, Jian langsung lesu seketika. “Yah, payah banget.”
"Heh, lagian, gue juga ogah banget asal tanda tangan di sini. Nanti kalau mbak-mbak Gramed nyuruh gue tanda tanganin lebih banyak gimana? Buat dijual lagi versi tanda tangan?” ujar Aruna. Teman-temannya tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...