// 31: Tertangkap Basah

962 104 22
                                    

“Kamu pernah ngerahasiain sesuatu dari orang lain, nggak, padahal itu penting?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kamu pernah ngerahasiain sesuatu dari orang lain, nggak, padahal itu penting?”

Gama menarik puntung rokok dari apitan bibirnya. Ia meletakkan benda tersebut ke dalam asbaknya yang setengah penuh, mematikan baranya. Senar gitarnya masih ia petik tipis-tipis. Pertanyaan Aruna masih menggantung, belum sempat ia jawab. Pikirannya justru sibuk, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu dengan benar, dan jawaban apa yang sebenarnya Aruna harapkan dari mulutnya?

Apakah pertanyaan ini murni berasal dari benak Aruna, atau, perempuan ini sedang menyinggung perasaannya? Tapi, kalaupun ya, Gama sangsi. Aruna seharusnya tidak tahu rahasia apapun yang sedang ia sembunyikan, tentang Denara yang masih mengejar-ngejarnya dengan segala cara.

Jelas, Gama masih merahasiakan hal tersebut. Ia tidak mau pikiran Aruna terbebani dengan bagai prasangka yang tidak benar. Ia masih harus mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya pada Aruna, atau kalau memang tidak diperlukan, rahasia ini akan tetap jadi rahasianya, seumur hidup.

“Gama?” suara lembut itu menyentaknya dari lamunan panjang. Gama tersadar ia terlalu lama memeluk gitar dan tetap memetiknya, padahal Aruna sedang menunggu kepastian di seberang sana.

“Iya, Aruna?” sahut Gama sama lembutnya. “Kamu kenapa nanya kayak gitu, cantik?”

“Ya, nggak apa-apa. Cuma pengin tau,” jawab Aruna.

Gama bergumam, mengulur lebih lama penjelasannya. “Ada … sih,” jawab Gama pelan, agak ragu. “Aku ngerahasiain dari Ibu, nih, kalau kamu pacar aku. Padahal kamu penting. Gimana ya, Aruna?”

“Hah?” Aruna refleks menjawab. Gama bisa membayangkan ekspresi gadis itu sekarang. Pasti sedang mendelik dan dalam hati menghujat Gama habis-habisan karena justru menggombal di saat-saat serius begini. “Gam, aku nanya serius, loh.”

“Hehehe.” Gama terkekeh pelan mendengarnya. Sedikit rasa bersalah langsung timbul. “Aku … hm … kayaknya nggak ada, deh, Aruna. Semua yang terjadi sama aku tuh, selalu aku ceritain ke orang lain gitu. Ke kamu, atau ke Ashlan sama Ridho.”

Aruna diam. Sambungan telepon mereka kembali dilanda hening.

“Kenapa kamu nanya gitu? Kamu lagi ngerahasiain sesuatu dari aku?”

“Nggak, Gam, bukan dari kamu. Tapi, ah, udah deh! Kita bahasnya nanti aja, kalau ketemu. Aku bingung.” Aruna lama-lama frustrasi dengan obrolan yang diangkatnya sendiri. Gegas, gadis itu pun mengalihkan topik perbincangan, membawanya ke percakapan yang lebih ringan. “Gam, kamu malem Minggu nggak ke mana-mana?”

“Di kosan aja aku, kangen banget nih sama kamu, maunya ngobrol sama kamu aja, teleponan,” balas Gama manja. “Arunaaaa, aku kangen banget! Kita kapan ketemu lagi, sih?”

Aruna terang-terangan menertawakan Gama. “Gam, ih. Nanti, kalau liburan, ketemu lagi sama aku,” jawab perempuan itu masih diiringi kekehan. “Sabar ya, Pangeran paling ganteng se-Depok Timur!”

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang