// 21: Ada yang Perlu Dibicarakan

2.5K 246 42
                                    

Sudah satu jam lamanya Gama dan Denara duduk berhadapan di gerai Kopi Janji Jiwa di Paris Van Java, Bandung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah satu jam lamanya Gama dan Denara duduk berhadapan di gerai Kopi Janji Jiwa di Paris Van Java, Bandung. Gama baru saja menyelesaikan cerita tentang kecelakaannya kemarin siang di Depok. Bagai ibu yang selalu memiliki reaksi berlebih ketika anaknya celaka, begitulah reaksi Denara ketika Gama selesai bercerita.

Dulu, Gama selalu menyambut reaksi-reaksi tersebut dengan senang hati, sebab merasa bahwa Denara sangat peduli akan hal-hal kecil yang terjadi pada dirinya. Tapi, entah kenapa kini Gama justru malas menanggapinya. Denara berlebihan sekali.

Kemudian kabar buruknya adalah, kencan mereka hari ini rasanya hambar sekali bagi Gama. Cerita liburan Denara yang disampaikan dengan penuh antusias sepanjang langkah mereka menyusuri tiap inci Paris Van Java, rasanya hambar sekali. Gama tidak tahu apa yang sedang salah dengan dirinya.

"Gam, ke Gramedia, yuk!" ujar Denara yang mendadak menyudahi ceritanya sendiri tentang liburan ke Ranca Upas bersama teman-teman SMA-nya. Penuh semangat, Denara menarik tangan kiri Gama, berlari memasuki toko buku tersebut.

Langkah mereka serempak terhenti pada jajaran buku yang disusun di bagian depan toko. Dengan tulisan New Arrivals yang tertera, Gama yakin ini adalah jajaran buku-buku yang baru terbit. Denara sibuk melihat-lihat, begitu pula dengan Gama, yang tiba-tiba mendapati buku puisi dengan nama Aruna pada sampulnya.

Raga Gama membeku, matanya tersorot ke sampulnya yang sederhana. Bahkan ketika Denara sibuk membicarakan novel-novel lain yang ada di sekitar buku puisi tersebut, Gama tak berkutik, sampai Denara menyadari Gama terdiam terlalu lama.

Sejenak Denara memerhatikan mata Gama, menyadari laki-laki itu sedang memandangi satu buku puisi. Ceria yang sejak tadi melingkupi Denara pun luruh sepenuhnya. Senyumnya mengembang tipis, penuh keterpaksaan.

"Masih, ya, Gam?" tanya Denara dengan penuh hati-hati. Gadis itu menepuk pundak Gama, menyadarkan laki-laki itu dari apa yang sedang jadi perhatiannya. Lantas, Gama terperanjat dari lamunannya, menoleh ke Denara sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Denara ikut menyungging senyumnya. "Aruna Prameswari. Hebat ya dia, penulis."

Sadar apa kesalahan fatalnya siang ini, Gama gegas mengalihkan pembicaraan. Ia mengajak Denara melihat-lihat buku di rak lainnya, tapi Denara menahan langkahnya untuk tetap berdiri di depan jajaran buku yang sama. Bahkan, tangannya meraih salah satu buku puisi yang sudah tidak tersegel. Gama masih berusaha menjauhi Denara dari apa yang sedang dilihatnya, tapi itu justru memicu pertikaian.

Denara sudah telanjur membuka beberapa halaman terdepan, termasuk melihat satu halaman di mana tertulis satu kalimat: Terdedikasi untuk laki-laki yang menetap di Bandung, yang sore lalu tidak berpulang.

Air muka Denara semakin sendu. Senyumnya semakin getir. Gadis itu masih memandangi barisan kalimat singkat tersebut. "Terdedikasi untuk Gama yang meninggalkan Aruna," tutur Denara, seolah sedang menyuratkan arti kalimat tersebut. "Begitu, kan, seharusnya?"

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang