Kolaborasi antara sembap hasil menangis dan kantung mata menghitam hasil begadang jadi perhatian mencolok untuk Aruna. Sudah lima belas menit ia mematut diri di hadapan cermin. Segala jenis kosmetik sudah melekat pada wajah tirusnya. Namun nihil hasilnya. Aruna tetap harus tampil bersama mata sembapnya seharian ini.
Pasrah. Gadis itu memutuskan untuk menyudahi upayanya menutupi bekas-bekas menangis bercampur begadang yang menyatu di bawah matanya. Aruna gegas mengemas barang-barangnya, lalu beranjak segera dari kamarnya.
Hari sudah cukup siang. Mentari sudah menyebarkan teriknya, bahkan. Aruna berlarian ke pintu stasiun, mengejar kereta yang menurut aplikasi informasi transportasi di ponselnya, akan tiba dalam dua menit. Sekencang-kencangnya gadis itu berlari, meraih peron yang masih cukup padat. Tidak biasanya sesiang ini stasiun masih berdesakan.
Aruna berhasil masuk ke kereta tepat waktu, meski tiada kursi kosong yang tersedia. Alhasil ia berdiri di samping pintu, bersandar pada pembatas kursi di belakang tubuhnya. Headphone hitamnya terpasang sempurna di kepalanya kini. Sementara lagu-lagu manis mengalun di telinganya dengan volume hampir penuh, kedua matanya fokus pada layar ponselnya yang menampilkan preview dari ilustrasi setengah jadi yang sudah Mahesa garap.
Senyum Aruna mengembang tipis di balik masker yang membalut setengah wajahnya. Rasanya tidak ingin sedetik pun Aruna memalingkan pandangan dari lima sketsa hitam putih hasil karya Mahesa. Semua ini, sangat menggambarkan perasaan Aruna sepenuhnya.
Dan, oh! Aruna punya ide.
Gegas gadis itu mengusap layar ponselnya, mengetikkan nama Mahesa pada fitur search di WhatsApp. Dengan lancarnya, Aruna mengutarakan ide kecil-kecilannya kepada Mahesa, mengajaknya diskusi mengenai ilustrasi untuk buku puisinya.
Aruna ingin Mahesa membuatnya setengah jadi. Tanpa warna, laksana ilustrasi yang belum diselesaikan, dan takkan pernah terselesaikan. Penjelasan mengenai konsep tersebut tak lupa Aruna sampaikan kepada Mahesa, yang tentu saja, dimengerti dengan sangat baik oleh laki-laki itu.
Mahesa paham maksud Aruna meminta ilustrasi setengah jadi untuk buku puisinya. Aruna bermaksud menggambarkan ini sebagai hubungannya dengan Gama yang belum selesai, dan mungkin, takkan pernah terselesaikan sampai kapan pun.
Hasil akhir dari diskusi kecil mereka, Mahesa menyetujuinya. Katanya, ia akan menyampaikan ide Aruna kepada Mas Gaga nanti begitu tiba di kantor. Sekali lagi senyum Aruna mengembang. Sampai detik ini, tanpa Aruna sadar, Mahesa selalu jadi alasannya tersenyum setelah kepergian Gama.
Mahesa masih jadi distraksi terbaiknya dari Gama, meski Aruna takkan pernah menyadarinya. Bahkan, mungkin Aruna takkan pernah sadar, bahwa selama ini Mahesa mendedikasikan segenap raganya untuk Aruna.
Sisa perjalanan menuju kampus Aruna nikmati masih bersama playlist yang sama setiap harinya. Gadis itu tidak lagi menekuni ponselnya, melainkan dengan senang hati memandangi ke luar jendela kereta yang melaju cepat. Stasiun demi stasiun dilewati, hingga dua jam kemudian, Aruna tiba di tujuannya dengan tepat waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...