// 32: Ancaman Terbesar

783 110 44
                                    

Aruna dan Belva masih punya setengah jam sebelum kelas di Senin pagi ini dimulai, maka itu artinya, Aruna juga hanya punya waktu setengah jam untuk merampungkan penjelasannya kepada Belva tentang hubungannya dengan Gama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aruna dan Belva masih punya setengah jam sebelum kelas di Senin pagi ini dimulai, maka itu artinya, Aruna juga hanya punya waktu setengah jam untuk merampungkan penjelasannya kepada Belva tentang hubungannya dengan Gama. Bagaimanapun caranya, Aruna harus sudah sukses membuat Belva yakin bahwa hubungan ini akan baik-baik saja, dalam tiga puluh menit yang tidak boleh disia-siakan.

Belva duduk di pinggir kasurnya, berhadapan dengan Aruna yang kini sudah duduk dan meletakkan ponselnya. Aruna masih mengatur napasnya, berusaha tenang untuk memberi penjelasan, namun ponselnya mendadak berdering. Nama Gama terpampang nyata di layarnya. Tentu saja Belva ikut menoleh, mendapati nama Gama ada di layarnya.

“Ternyata bener, ya, kalian deket lagi? Gue udah feeling, sih, dari pas di Gramedia.” Belva menyimpulkan dengan mudah. Matanya masih tak teralihkan ke mana-mana. “Soalnya lo diem aja waktu pada ngeceng-cengin Gama.”

Aruna pasrah. Sudah tidak ada lagi alasan yang bisa ia buat-buat. Otaknya sedang tidak mampu berpikir untuk itu. “Gue balikan, Bel.”

Mata Belva membulat, menangkap figur Aruna yang menggigit bibir bawahnya dan masih tidak mau menatapnya balik. “Wah, udah berapa lama?”

Pertanyaan itu mengundang Aruna untuk balik menatap Belva. Gadis itu geming, jelas tergambar ekspresi tak percaya di wajahnya. Kok Belva tidak protes apapun? Padahal, kemarin ia juga ikut mencaci-maki Gama bersama dua temannya yang lain.

"Empat bulanan,” jawab Aruna. Belva hanya mengangguk-angguk paham. “Sori ya Bel, gue nggak cer—”

“Kenapa harus minta maaf?” Belva lekas menginterupsi. Perempuan itu mendekat kepada Aruna untuk meraih bahu sahabatnya. Tanpa Aruma duga, Belva langsung menyerocos. “Gue kan udah pernah bilang sama lo, Aruna. Hidup lo itu sepenuhnya milik lo. Lo yang ngejalanin. Kalau lo emang yakin sama dia, ya lo boleh kok, balikan sama dia, dan nggak wajib hukumnya lo cerita ke semua orang. Gue tau, Na, lo pasti takut orang-orang masih dendam banget sama Gama. Tapi, kan, mereka juga nggak ngerti, Na, gimana perasaan lo. Mereka juga belum denger penjelasan Gama. Dan, yang bisa ngertiin Gama ya, mungkin cuma lo.”

Ketenangan terasa mengalir dari tangan Belva yang bertumpu pada bahunya. Senyum kecil jadi penutup dari pidato singkat Belva. Senyum yang mengundang Aruna untuk turut melengkungkan bibirnya.

“Bel, jangan bilang-bilang dulu, ya, ke yang lain.”

Belva mengangguk. “Gue yang minta maaf sama lo, ya, Na. Maaf karena gue udah ikutan jelek-jelekin Gama, ngatain dia bajingan.”

Aruna tertawa, kemudian mengangguk. Sama seperti Belva yang mengerti perasaannya, ia juga mengerti. Sebab, katanya dendam sahabat akan lebih besar daripada dendam kita sendiri ke mantan pacar yang jahat, dan Aruna mau memvalidasi kebenarannya.

“Lo tuh, dateng pagi-pagi ke kosan gue buat itu, Na?”

Cengir Aruna melebar. “Iya, Bel. Nggak tau, ya, gue tuh nggak tenang banget sejak lo nanya gue deket lagi sama Gama. Jadi, ya gue mau ngasih tau aja sekalian.”

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang