// 13: Menyeduh Sedu

1.8K 209 15
                                    

Tidak ada yang tidak ikut lesu ketika melihat Aruna murung sepanjang hari di kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada yang tidak ikut lesu ketika melihat Aruna murung sepanjang hari di kelas. Teman-temannya kerap kali mengajaknya jalan, entah sekadar makan es krim atau makan ke restoran di mal, tapi Aruna tetap lebih sering ingin pulang duluan. Alasannya selalu sama, Aruna ingin menggarap buku puisinya yang masih setengah jalan.

Padahal realitanya, Aruna akan langsung pulang, masuk ke kamarnya, dan hampir tidak pernah menyentuh mesin tik maupun bindernya untuk melanjutkan buku puisinya. Sejak terakhir kali bersua dengan Mahesa empat hari lalu, Aruna belum mengerjakan apapun lagi.

Begitu pula sore ini ketika ia pulang setelah satu jam silam diajak jalan oleh Jian. Aruna memilih untuk pulang duluan, menemui kamarnya yang entah sejak kapan sudah mulai begitu kacau. Laptop yang tidak tertutup, kabel casan yang bersepah ke mana-mana, buku-bukunya yang tergeletak tak keruan, pena berbagai warna yang tidak masuk ke tempatnya, mesin tik yang tidak ditutup dengan kovernya, kertas-kertas renyuk hasil penulisan puisi yang saltik, bahkan selimut yang tidak dilipat.

Aruna mengambil napas dalam-dalam. Setelah matanya menyapu seisi ruangan, gadis itu melangkahkan kakinya masuk, dan menutup pintu dengan perlahan. Diletakkannya tote bag di bahunya ke atas meja. Dan aksinya bertepatan sekali dengan matanya menemukan satu amplop cokelat di atas meja.

Senyum Aruna mengembang tipis. Ini adalah surat untuk Gama yang belum sempat Aruna kirim. Tangannya segera meraih selembar kertas di dalam amplop tersebut. Dibacanya barisan kata bertinta hitam itu. Surat singkat untuk Gama itu Aruna baca lagi. Gadis itu berakhir terduduk di kursi kerjanya, meletakkan surat tersebut setelah membacanya, dan menarik mesin tiknya untuk mendekat.

Selembar kertas Aruna masukkan, ia menghela napas seraya memejamkan matanya sesaat. Aruna yakinkan untuk mengetikkan satu surat lagi untuk nanti sore ia kirimkan ke alamat indekos Gama di Bandung.

+

Usai. Satu kata satu makna. Sederhana, tapi pilunya sempurna. Aku sayang kamu, tapi biar kukejar seperti apapun, mungkin kamu akan tetap berlari. Aku menulis semua ini untuk kamu. Entah apa lagi yang harus kuharapkan pada namamu, Gama.

Gama, bagaimana dengan cita-cita yang dulu kita rancang? Bagaimana dengan cerita cinta yang belum sampai pada klimaksnya? Ah. Rasanya seperti baru kemarin sore. Aku masih menggebu-gebu, ingin kutulis kisah berdua denganmu. Meski dengan pena yang tidak lancar tintanya, meski dengan tulisan tangan yang tak jelas rupanya, meski dengan kertas yang kotor permukaannya, aku tetap ingin menulis kisah kita bersamamu.

Tapi kamu memilih bahagia sendirian tanpa membawaku. Genggamanmu, terlepas. Kamu membebaskan diri, tanpa aku. Gama, kamu selama ini pulang ke mana? Pintu mana yang kamu dobrak? Tapi, yang manapun sepertinya tak apa. Pulanglah ke rumahmu yang baru. Biar aku yang tinggal, sebab tiada rumah yang bisa meninggalkan seperti penghuninya.

Maka, tolong sampaikan salamku padanya, katakan aku mencintaimu. Meski segalanya usai, namamu tetap terpatri. Kamu, akan selalu punya ruang khusus ketika kamu ingin pulang nanti.

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang