Meski sudah tiga jam berlalu, Gama tetap tidak peduli dengan kelanjutan pesan-pesan Denara. Gama tidak berniat membalas pesannya juga. Bodo amat. Baguslah kalau perempuan itu membeli buku Aruna, itu artinya, Denara membantu Aruna untuk melangkah ke puncak yang lebih tinggi. Tapi urusan meminta tanda tangan, tak perlulah Aruna memberikannya. Yang ada, malah akan menimbulkan keributan.
Jelas-jelas Ridho sudah memberi Gama pencerahan, untuk jangan memberikan Denara kesempatan mendapatkan tanda tangan Aruna, apalagi kalau harus melalui Gama. Nanti Denara akan berharap lagi. Itu kabar buruknya menurut Ridho. Sementara kabar lebih buruknya, Denara bisa jadi akan ikut campur tangan pada hubungannya dengan Aruna, seperti dulu ketika Gama baru jadian dengan Aruna.
“Udah, deh, gampang nanti gue urus. Lo pada ikut ke Add+ sama gue dan Aruna. Biar kalau dia dateng, nggak ada kalian,” ujar Gama sambil menyakukan ponselnya. Gama meraih helmnya yang diletakkan di rak sepatu, jajaran teratas. “Duluan, ya. Tag tempat dulu, gue nyusul.”
Baik Ashlan maupun Ridho saling tatap, lalu mengerjapkan mata mereka. “Gam, serius lo ngajak gue sama Ashlan? Niat pacaran, nggak, sih?” tanya Ridho.
Gama kadang-kadang memang aneh, persis seperti apa yang pernah Denara katakan padanya. Aneh. Malam ini ia sudah janjian dengan Aruna untuk jalan, tapi malah mengajak Ashlan dan Ridho. Dua sejoli jomlo itu sebelumnya tegas-tegas sudah menolak, secara mentah-mentah, namun Gama tetap bersikeras meyakinkan, bahwa keikutsertaan mereka dalam kencannya dengan Aruna takkan mengacaukan apapun.
Ketika mendengar pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya dalam tiga jam terakhir, Gama kini memutuskan untuk tidak memberi jawaban lagi. Laki-laki itu hanya melempar senyum sebelum hilang di balik pintu, benar-benar melengang pergi untuk menjemput Aruna, meninggalkan Ashlan dan Ridho yang tak punya pilihan lagi.
Sambil berjalan menuruni tangga, Gama mengenakan helmnya, merapatkan ritsleting jaket kulitnya, lalu melangkah dengan tegas seraya memainkan kunci motor di tangannya. Senyumnya tak henti-henti membentuk kurva. Gama senang sekali malam ini. Rindu yang sudah ditabungnya selama sebulan, pada akhirnya akan ia hambur-hamburkan.
Perjalanannya menuju hotel begitu menyenangkan. Senyumnya tak sekali pun luntur. Kecepatan motornya stabil, tapi kecepatan detak jantungnya, jangan pernah ditanya. Berdentum cepat tanpa ampun!
Gama tiba di lobi ketika Aruna sudah menunggunya. Perempuan itu sibuk menunduk ke pergelangan tangannya, mengenakan gelang yang biasa terikat di sana. Laju motor Gama melambat kala ia semakin dekat dengan gadisnya. Senyumnya semakin melebar ketika dilihatnya Aruna mengenakan blus putih berenda-renda yang dipadukan dengan celana kulot denim. Rambutnya tergerai bebas. Riasan tipis terlukis di wajahnya. Tak lupa, tas selempang kecil berwarna cokelat menggantung di bahu kirinya.
“Atas nama Aruna cantik?” tanya Gama begitu motornya berhenti di depan gadis itu. Tangannya terulur, memberikan helm pada Aruna.
Dua kali dalam sehari, Gama bisa-bisanya melanjutkan tontonan untuk sekuriti yang masih sama dengan sore tadi. Aruna tersipu, malu-malu menerima pemberian helm dari pacarnya. “Ih, Gama!”
“Eh, kenapa? Bener kan, dengan Aruna cantik?”
“Nggak!” tolak Aruna sambil memalingkan pandangannya lalu naik ke jok belakang tanpa menunggu Gama memintanya. “Ayo, jalan, GamaJek!”
Gama memutar spion kirinya hingga kini keduanya saling tatap melalui cermin cembung tersebut. Belum ada satu detik, Aruna langsung melengos, membuat Gama jadi gemas sendiri dan menertawainya. “Ih, kok gitu sih, nggak mau lihat aku?”
“Biarin! Udah, ih, ayoooo!” rengek Aruna.
“Kamu salting, ya, Aruna?”
Aruna mendelik. Dalam hati ia memekik sendirian, kenapa harus dipertegas?!
“Ih, Gamaaaa!”
Mendengar Aruna semakin merengek, tawa Gama semakin pecah. Ia memutuskan untuk segera menancap gas, meninggalkan lobi utama hotel. Sepanjang jalan, Gama masih usil. Laki-laki itu tak henti-henti merayu Aruna yang malam ini benar-benar cantik di matanya. Lama-lama, jiwa kompetitif Aruna bangun juga. Perempuan itu tidak mau kalah dan pasrah tenggelam dalam rayuan Gama. Sebagai pujangga idola Gama Adi Prasaja, sukses besar Aruna mengembalikan seluruh rayuan itu, membuat Gama balik salah tingkah, meninggalkan rasa puas dan menang pada relung hati Aruna.
Pada akhirnya Gama yang menyerah. Katanya, rayuannya akan sia-sia. Celengan kata-kata indah dan puitis yang ada di otaknya, tidak sama kualitasnya dengan milik Aruna. Kini Aruna yang tertawa puas ketika Gama akhirnya menyerah mendengar rayuannya.
“Oh iya, Aruna, aku lupa bilang,” tutur Gama ketika motornya mulai melintas di Jalan Dipati Ukur. Aruna hanya bergumam sambil mendekatkan kepalanya kepada Gama, menghindari drama percakapan tak nyambung karena suara Gama saling adu dengan embusan angin. “Aku ngajak temen-temen aku juga, nggak apa-apa? Palingan nanti pisah meja, sih, kalau emang kamu nggak nyaman.”
Sejurus, Aruna terdiam. Pandangannya beralih pada jalan raya. Sejujurnya Aruna berharap kencan malam ini eksklusif untuknya dan Gama saja. Tapi, kalau Gama sudah bilang begitu, ia jadi tidak enak hati. Lagi pula, mereka akan pergi ke tempat umum. Tidak mungkin Aruna berhak tidak mengizinkan teman Gama untuk ikut duduk di bawah atap yang sama.
“Nggak apa-apa, lagi, santai aja,” jawab Aruna.
Cukup lama Gama meneliti ekspresi yang tergambar di wajah Aruna. “Aku cuma mau kenalin pacar aku ke temen-temen aja, Aruna. Aku pengin mereka tau, aku teh punya pacar kayak kamu.”
Fokus Aruna mendadak kabur, lidahnya kelu, pikirannya penuh sesak, dan jantungnya bertalu-talu dengan begitu gusar. Aruna menelan ludah. Malam ini, Gama mau mengenalkan Aruna kepada teman-temannya, sebagai pacarnya. Di saat yang bersamaan, Aruna memilih untuk merahasiakan Gama dari teman-temannya. Kok bisa-bisanya ia berlaku tidak adil begini di dalam rajutan asmaranya sendiri?
Gadis itu memilih untuk diam daripada nantinya jadi salah bicara. Tak lama, mereka tiba di tujuan yang sudah Gama rancang. Sebuah kafe kopi di pinggir Jalan Dipati Ukur. Add+ namanya. Tiba di parkiran, keduanya turun dari motor, sama-sama melepas helm dalam hening. Gama kemudian meraih tangan Aruna, membawa gadis itu masuk ke dalam kafe yang didominasi dengan dinding krem dan biru tersebut.
“Sebentar, ya, Aruna, aku telepon temen-temenku dulu,” tutur Gama seraya meraih ponsel di sakunya. Aruna hanya mengangguk paham. Laki-laki itu sudah menekan satu nama di layar ponselnya, tanpa mau melepaskan genggamannya pada tangan Aruna. “Halo, Dho. Di mana? … oh, biasa? … ya udah, gue baru sampai, nih. Lo udah mesen? … oh ya udah, oke gue mesen dulu. Lo pada mau nitip? … satu? … oke.”
Sebelum beranjak menemui teman-temannya yang sudah di rooftop, Gama terlebih dahulu membawa Aruna ke kasir untuk memesan. Tanpa berpikir lama-lama, keduanya sudah menentukan pilihan menu masing-masing, lalu beranjak. Gama menuntun langkah Aruna mengikutinya. Mereka menuju rooftop di mana Ashlan dan Ridho sudah menunggu. Kafe terpantau cukup ramai, satu fakta yang cukup membuat Gama tenang karena keputusannya menyuruh Ashlan dan Ridho datang duluan tidaklah salah.
Pada langkah pertamanya tiba di rooftop, Gama bisa dengan mudah melihat Ashlan dan Ridho. Keduanya sedang menunggu kedatangan Gama, terbukti dari pandangan mereka yang langsung menangkap kehadiran Gama dari arah tangga. Tangan Ridho pun melambai kepada Gama, mengisyaratkan laki-laki itu untuk menghampirinya.
Ashlan dan Ridho sudah duduk, di pinggir rooftop, tepat di balik pagar besi pembatas. Sengaja mereka mengosongkan sofa yang menempel pada pagar, supaya Gama dan Aruna duduk di sana, sementara Ashlan dan Ridho duduk di kursi kayu kecil yang berhadapan dengan sofa. Meja bulat berwarna biru muda menjadi pembatas di antara keduanya. Di atas kepala mereka, melintang bohlam-bohlam bulat dengan cahaya kuningnya yang agak temaram, menambah estetika pada kafe yang sedang mereka singgahi.
Gama hadir dengan senyum merekah, menyapa kedua temannya yang sudah duduk duluan bersama satu porsi sosis dan kentang goreng, serta gelas minuman masing-masing.
“Aruna, kenalin. Yang ini namanya Ashlan, dia fotografer, jago banget pokoknya, tapi kadang blo’on, kalau kamu selebgram, beuh, gampang banget pokoknya bikin Ashlan terpengaruh sama semua yang kamu omongin. Nah kalau yang ini Ridho, Mamah Dedehnya aku sama Ashlan. Walaupun nggak ada yang tau, tapi aku yakin, dia playboy abis. Soalnya tau banget seluk-beluk isi hati dan pikiran cewek. Dokter cinta, ieu teh.”
Yang disebut namanya mengangguk, memvalidasi seluruh ucapan Gama meski diselipkan fakta-fakta tak enak hati, yang sayangnya juga tidak bisa dimungkiri. Selanjutnya, Gama kembali bicara, “Lan, Dho, ini pacar gue, Aruna. Kalau mau tau, baca aja biodatanya di buku puisinya, ya, yang ada di kosan. Pokoknya mah, pacar gue mantep abis! Penulis bes—”
“Gama!” Aruna melotot, serta-merta membekap mulut Gama dan tersenyum kikuk pada dua teman Gama di seberangnya. “S-sori. Dia suka overproud, emang.”
Serempak, Ashlan dan Ridho tertawa. “Emang begitu, Teh, si Gama. Sebenernya kita juga udah tau, atuh, Aruna-Aruna ini. Setiap malem, nih, Teh, beuuuhh, galau pisan si Gama, ngomongin Aruna Prameswari, Aruna Prameswari,” ujar Ridho.
Ashlan mengangguk-angguk, setuju dengan pernyataan yang baru Ridho sampaikan. Tuh, kan, mudah sekali dia terpengaruh dengan ucapan Ridho. Gama kadang-kadang jadi bertanya-tanya, apa sebenarnya Ashlan menjadikan Ridho sebagai role modelnya selama ini?
“Permaisuri aku yang paling cantik se-Asia Tenggara, cenah,” timpal Ashlan, mengundang tawa dari Ridho bersamaan dengan persetujuannya. “Romantis ya, Teh, si Gama mah?”
Wajah Aruna memerah sempurna bak kepiting rebus. Satu fakta baru saja terungkap. Ternyata selama ini Gama selalu teleponan dengannya di depan teman-temannya ini? Hubungannya tidak memiliki privasi, dong?!
“Dih, mana ada gue gombal-gombal begitu, anying!” sangkal Gama yang wajahnya entah kenapa ikut memerah. Rona di pipi Aruna menular kepadanya.
Ashlan dan Ridho semakin puas tertawa. “Pernah, euy! Waktu rokok gue ketinggalan di kosan lo. Kegep lo, teleponan sama Aruna. Beuh, bucin!”
Aruna sedikit tidak nyaman karena jadi terseret dengan ejekan-ejekan yang sebetulnya untuk Gama itu, tapi, entah kenapa ia senang melihat Gama salah tingkah. Ternyata, bukan hanya dirinya yang bisa salah tingkah ketika dirayu oleh Gama. Aruna puas sekali, sampai akhirnya satu ide secara impulsif menyeruak di benaknya.
Tanpa pikir panjang, Aruna memvalidasi, “Emang bucin si Gama, ih! Masa, tiap telepon, gini, ‘Halo, Assalamu'alaikum cantik.’ Ih! Gombal!”
Gama mendelik, tak percaya Aruna sekarang jadi bersekongkol dengan teman-temannya. “Ih, Aruna, kamu teh nggak setia sama aku!” tukasnya. “Malah bantuin mereka.”
Aruna tidak peduli dengan tuduhan tersebut. Justru, rasa puasnya malah membludak dan tawanya semakin kencang. Senang sekali menggoda Gama begini. Apalagi, kini ia dibantu dengan Ashlan dan Ridho, yang jelas-jelas lebih mengenal pacarnya ini.
“Eh, tapi gini-gini, Teh, si Gama mah shalat lima waktu, euy!” ujar Ridho.
Ashlan mengacungkan ibu jarinya tanda setuju. “Iya, bener. Soalnya, kata ibunya teh, ‘Gama, jangan pernah tinggalin shalat!’”
Gama yang tidak pernah mengungkap hal tersebut pada Aruna, tersenyum malu-malu ketika Aruna menoleh kepadanya. Sudahlah, Gama kalah telak. Malam ini ia di-bully habis-habisan pun sepertinya memang harus pasrah. Masalahnya, ini tiga lawan satu. Adu rayu dengan Aruna saja ia kalah telak, apalagi dengan bantuan Ashlan dan Ridho yang selalu siap sedia membocorkan rahasia paling rahasia miliknya!+
an: yuhuuu, akhirnya update! Berasa lama nggak sih update-nya? Atau kecepetan ya? :)
Anyway, selamat tahun baru guys! Gimana bab 33, mulai percaya Gama setia sama aruna, atau malah curiga Gama manipulatif? Wkwkwk.
See you next week!❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...