"Kok kamu dihubungin nggak bisa? Kamu pulang sama siapa?" pertanyaan itu jadi satu kalimat pertama yang Aruna terima ketika baru saja tiba di rumah dan melangkahkan kakinya melewati ruang tengah. "HP kamu nggak aktif? Bukannya bawa power bank?"
Dua lagi tanda tanya yang akhirnya membuat langkah Aruna terjeda sebelum lolos menaiki anak-anak tangga menuju kamarnya. Aruna mengerlingkan matanya. "Ibu sama ayah juga, pulang sama siapa?"
Kegiatan ibunya seketika terhenti mendengar nada bicara Aruna yang perlahan meninggi. Ponsel yang ada di genggamannya, diletakkan di sofa. Wanita dengan rambut sependek Aruna itu berbalik badan, menghadap anak tengahnya yang secara tidak langsung sedang protes atas kepulangan mendadaknya beberapa jam silam.
"Ibu sama ayah kan udah kabarin ke kamu kalau mau jemput Shadi di rumah temennya. Ibu juga tadi nelepon untuk tanya ke kamu kok apa acaranya udah selesai atau belum, ibu mau ke sana lagi. Tapi kamu nggak aktif, ya gimana ibu tau?" balas ibunya yang tak mau kalah suara. "Tadi ibu, ayah, sama Shadi datang lagi loh ke Gramedia. Tapi acaranya udah selesai. Ya jelas ibu pikir kamu udah pulang. Makanya sekarang ibu tanya, kamu pulang sama siapa?"
Aruna memicingkan matanya mendengar argumen ibunya yang membela diri sejauh itu. Ternyata percuma Aruna mengutarakan rasa kecewanya. Hal tersebut justru jadi bumerang untuk dirinya sendiri. Sekarang, ibunya justru memojokkannya dan menganggap Aruna tidak menghargai perhatian yang diberikan oleh kedua orang tuanya.
Tetapi, persis bagaimana sikap ibunya, Aruna pun tidak mau mengalah. Dua-duanya semakin panjang beradu mulut di ruang tengah, membuat ayahnya gegas keluar dari kamar. Sementara Shadita hanya diam, menyimak dari balik pintu kamarnya yang tertutup rapat.
Aruna menyesal sudah pulang terlalu dini. Harusnya, sekalian saja Aruna tidak usah pulang. Biarkan Mahesa membawanya ke manapun, asal tidak pulang.
Dua lawan satu. Ayahnya membela ibunya, sementara Aruna susah payah menjatuhkan argumen mereka. Lepas kendali sekali Aruna sampai berani bilang, "Runa udah cukup sabar ya selama ini, nahan semua kecewa yang Runa tanggung sendirian. Ibu sama Ayah selalu fokus ke Mas Pram, ke Shadi. Runa juga ada, Bu, di sini. Runa juga ada, Yah. Runa berjuang selama ini, sampai di titik ini, nggak pernah sekali pun Ibu sama Ayah ngehargain Runa. Bahkan apresiasi aja nggak!"
Jantung Aruna berdentum-dentum begitu kalimatnya usai. Kedua orang tuanya geming, begitu pula dengan Aruna. Seisi ruangan mendadak hening. Gegas Aruna meninggalkan kedua orang tuanya yang masih mematung mendengar bentakan lepas kendali tersebut. Aruna mengurung dirinya di dalam kamar, mengunci pintu serapat-rapatnya, merapatkan tirai jendelanya. Lagi, semua perasaannya hanya bisa ia salurkan melalui tangisnya.
Aruna membalut dirinya sendiri di dalam selimut. Ia menangis sejadi-jadinya. Di saat seperti ini, selalu, nama Gama yang terpikirkan oleh Aruna. Bertahun-tahun Aruna menyimpan sendiri juta gundah gelisahnya, permasalahannya dengan kedua orang tuanya, pun kedua saudaranya. Sejak Gama hadir, laki-laki itu yang selalu ada, selalu mendengarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Fiksi Remaja[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...