Cemas yang sempat singgah di hati Gama akhirnya beranjak pergi. Ia sempat takut sekali Aruna tidak nyaman dengan teman-temannya, bahkan sudah menyiapkan destinasi kafe cadangan seandainya mereka harus angkat kaki duluan dari kursi yang ditempati bersama Ashlan dan Ridho. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Aruna kelihatan sangat mudah akrab dengan dua temannya. Persis seperti sikapnya pada Gama dulu, ketika mereka baru pertama kali kenal. Aruna yang hangat dan tidak repot-repot jaga image dengan orang baru. Gama senang pilihannya benar-benar tidak salah.
Ashlan dan Ridho juga kelihatannya begitu nyaman bicara dengan Aruna, tidak perlu sampai harus menyaring arah obrolan dan kata-kata. Semua orang di meja itu bebas menjadi diri sendiri. Bahkan, meski asap rokok mengepul sekalipun, Aruna tidak menyisihkan waktu untuk protes. Benar-benar Aruna yang Gama kenal, menerima orang lain dengan apa adanya.
Sebelum malam semakin larut, mereka pulang. Gama mengantar Aruna kembali ke hotel, sementara Ashlan dan Ridho pulang ke indekos masing-masing, tidak ke indekos Gama lagi. Sudah tidak ada pekerjaan yang tersisa lagi, sehingga kini akhir pekan mereka bisa dihabiskan dengan menyenangkan tanpa deadline mengejar.
Gama tidak buang waktu setelah mengantar Aruna. Laki-laki itu mempersilakan tamunya untuk segera beristirahat, sementara Gama sendiri langsung kembali ke indekosnya, tanpa Ashlan dan Ridho. Kamar kosnya kosong, penuh ketenangan. Laki-laki itu menghela napas lega, segera duduk di kasur lalu meraih gitar yang tergeletak di sebelahnya.
Satu dua nada dari petikan jarinya pada senar terdengar pelan kala otaknya masih sibuk dan penuh dengan nama Aruna. Gama mendadak jadi orang paling bahagia di seantero jagat. Rasa-rasanya seperti ia baru saja jatuh cinta. Segala sesuatunya terasa begitu indah. Betapa semesta sukses mengemas cerita cintanya di balik kata sederhana. Persis seperti namanya sendiri yang pernah ia diskusikan dengan Aruna. Gama Adi Prasaja, artinya adalah perjalanan indah yang sederhana. Kata Aruna, nama itu sangat menggambarkan dirinya. Suara Aruna yang mendiktekan hal itu benar-benar melekat pada benaknya.
Gama mengembuskan napas pelan. Ia mengistirahatkan kedua tangannya di atas badan gitar, lalu dagunya bertumpu. Senyumnya sekali lagi mengembang. Memorinya memutar lagi suara Aruna yang selalu disukainya. Gama sudah rindu lagi dengannya!
“Gam, punten!”
Selain panggilan dari suara yang tidak asing itu, Gama mendengar pintu kamar kosnya diketuk. Itu suara Dodit, anak Teknik Geofisika yang seangkatan dengannya. Kamar kosnya berada tepat di sebelahnya. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, tapi tidak jauh juga, sebab keduanya sering nongkrong di tempat yang sama: Monumen Kubus di depan ITB.
Gama bangkit dari kasurnya, bergegas membukakan pintu untuk Dodit. “Kenapa, Dit?” tanyanya ketika mendapati figur Dodit berdiri di balik pintu dengan sebuah amplop cokelat di tangannya. Laki-laki yang mendapat pertanyaan itu juga segera menyodorkan benda tersebut kepada Gama “Apaan, ini?”
Dodit mengedikkan bahu. “Nggak tau, lah, gue nggak berani buka.”
“Dari siapa? Gue nggak lagi beli apa-apa, tuh, di online.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...