Empat bulan.
Waktu melaju dengan kecepatan tinggi. Padahal, rasa-rasanya baru kemarin sore Gama mengumpulkan keberanian untuk pulang ke Jakarta untuk menemui Aruna dan mengajaknya mengulang kembali seluruh cerita yang terhenti. Tidak terasa, empat bulan berlalu begitu saja. Hubungan antara Gama dan Aruna masih berjalan mulus tanpa hambatan.
Selama empat bulan terakhir, meski harus dengan bantuan Ashlan dan Ridho, Gama sukses menjaga jaraknya dari Denara setiap kali perempuan itu mencoba untuk mendekatinya lagi. Selama empat bulan terakhir pula, ia berhasil perlahan-lahan membangun kembali rasa percaya Aruna pada namanya. Sebab, Aruna takkan pernah tahu kalau Denara di sini masih mengusiknya. Gama pikir, Aruna tidak perlu tahu. Biarkan pujangga idolanya itu sibuk dengan kata-kata yang dirajutnya bersama mesin tik kesayangannya di rumah, jangan sampai Aruna sibuk memikirkan Gama di sini yang berjuang mencari cara untuk memblokir Denara dari hidupnya.
Sebab, kenyataannya, Denara memang belum benar-benar pergi. Bukan Gama yang memintanya, tapi perempuan itu sendiri yang memilih untuk tak kunjung pergi. Hari-hari Gama jadi semakin berat dibuatnya, sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya Denara berhenti mengejar-ngejarnya.
Seperti pada Minggu cerah ini. Harusnya, Gama dan dua temannya menikmati akhir pekan dengan tenang di indekos. Namun, sialnya, satu perempuan yang benar-benar mereka hindari bersama-sama itu, justru hadir, mengacaukan betapa cerahnya Bandung siang itu.
"Ah, nggak tau, lah, Gam, capek banget gue berurusan sama dia, tuh. Batu banget, euy, dikasih taunya. Puyeng." Ridho menutup pintu kamar kos Gama rapat-rapat. "Gue udah bilang, si Gama teh lagi keluar beli rokok. Tapi nggak percaya. Katanya, motornya si Gama ada di parkiran kos."
Kontan, Ashlan dan Gama yang sedang menekuri laptop masing-masing saling tatap sesaat sebelum serempak menoleh pada Ridho yang baru datang dan melemparkan dua bungkus rokok titipan keduanya. Mereka bahkan tidak mengerti maksud ucapan Ridho barusan.
"Aya naon, sih, anying, dateng-dateng ngomel?" celetuk Ashlan sambil mengambil bungkus rokok lemparan Ridho yang meleset ke pinggir kasur yang sedang didudukinya.
"Gam, sumpah, gue nggak ngerti kenapa dulu lo bisa tahan dua tahun sama si Ara. Dia tuh toxic banget, gila. Egois. Tuh, liat. Dia di bawah. Nungguin lo. Lo janjian sama Ara, mau nganter dia ke rumahnya si Tiyas?" gerutu Ridho masih tanpa henti. Laki-laki itu segera melepas sepatunya, meletakkannya sederet dengan sepatu milik Gama dan Ashlan di rak. "Lo nggak kapok-kapok, ya, Gam?"
Gama mengernyitkan kening. Pertama-tama, Gama tidak mengerti maksud ucapan Ridho. Kedua, ia tidak merasa punya janji dengan Denara. Lantas kenapa perempuan itu ada di indekosnya dan membuat Ridho sebegini sebalnya?
"Demi, nggak ada janjian apa-apa, gue, sama Ara." Gama mengangkat dua jarinya, bersumpah bahwa ia tidak memiliki janji dengan perempuan yang sudah putus dengannya hampir empat bulan lalu. "Suruh pulang weh, bilang aja si Gama pergi sama siapa, gitu. Sama si Dodit, gitu, si Dodit. Naik motornya si Dodit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Novela Juvenil[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...