// 20: Hukum Atas Penyesalan

3.1K 285 66
                                    

Debby, Jelita, dan Radhan sekilas mengucap selamat tinggal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Debby, Jelita, dan Radhan sekilas mengucap selamat tinggal. Mereka gegas keluar dari mobil yang sedang ditumpangi. Sementara Aruna, turut beranjak dari kursi belakang, untuk berpindah ke sebelah Mahesa. Begitu mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah Debby, air muka Aruna kembali seperti semula. Karut-marut.

"Jadi, itu yang namanya Gama yang selalu lo bangga-banggain itu?" tanya Mahesa sambil terus fokus ke jalan raya. Aruna hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Selalu nggak terduga, ya, sama dia."

"Iya, Hes," jawab Aruna. Gadis itu mulai bercerita lebih panjang. Tentang ia yang sempat meminta penjelasan pada Gama tadi siang. Tapi Gama menolak memberikan penjelasan apapun. Dan kini, keputusan Aruna sudah bulat sempurna, sebulat purnama yang malam ini menghias langit temaram di sepanjang Jalan Boulevard Grand Depok City yang mereka lalui.

Meski di sepanjang jalan Aruna menangis lagi, tapi keputusannya tidak mau diubah. Aruna sudah yakin seribu persen, ia akan meninggalkan Gama. Meski entah akan sesulit apa. Berulang-ulang Mahesa mempertanyakan seberapa yakin Aruna akan keputusannya, jawabannya akan selalu sama.

Aruna ingin meninggalkan Gama.

Mahesa mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Senyumnya mengembang. "Na, lo mau pegang tangan gue, nggak, supaya ngerasa lebih tenang?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kirinya kepada Aruna.

Seketika tangis Aruna terjeda. Gadis itu memandangi tangan Mahesa yang terulur. Meski bingung bukan main, tapi Aruna putuskan untuk meraih tangannya, menautkan lima jarinya dengan erat pada jari-jari tangan Mahesa. Rasa hangat langsung menjalar. Jantung Aruna berdebar-debar.

Sepanjang sisa perjalanan mereka yang pendek habis dengan sendirinya, bersama sunyi yang mengekang. Pikiran Aruna hilir mudik kian ke mari. Satu tanda tanya menyeruak ke sekujur pikirannya: kenapa Mahesa sehangat ini padanya?

"Udah ya, Na," tutur Mahesa lembut. "Dia udah ninggalin lo kayak gini. Udah nyakitin lo bahkan setelah lo all out ke dia. Dia itu nggak pantes buat lo, Aruna."

Aruna geming. Selagi tangannya terus saling bergenggaman dengan Mahesa, matanya pun tak beralih dari laki-laki yang jadi sopir tersebut. Aruna akui, Mahesa adalah distraksi terhebatnya selama beberapa bulan terakhir ini. Akan tetapi, Mahesa bukan penyembuh lukanya.

Entah sampai kapan, mungkin ia takkan bisa mengusir nama Gama yang bersemayam di hati Aruna. Terbukti begitu jelas. Puluhan hari bergulir, Mahesa tidak pernah sukses menggantikan posisi Gama.

"Gue ada, Aruna. Gue selalu bersedia dengerin lo, ketika lo seneng, maupun ketika lo harus nangis-nangis kayak gini," kata Mahesa. "Makanya, lupain Gama, ya."

Setelah terlalu lama diam, Aruna putuskan untuk bicara pada akhirnya. Dengan suara lirih, gadis itu menukas, "Maybe, not that easy, Hes."

Senyum Mahesa mengembang samar. Laki-laki itu bersenandung, "Dia yang dulu pernah bersamamu, memahat kecewa."

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang