Alunan musik yang menenangkan sedari tadi menemani pekerjaan Gama bersama dua temannya di kafe yang mereka singgahi. Suasana kafe masih sepi. Tidak ada orang lain selain mereka bertiga di bagian outdoor. Di dalam pun hanya ada dua orang, yang mereka duga sebagai mahasiswa juga. Kelihatan sekali dari setelannya, apalagi, salah satu dari mereka menempelkan stiker logo organisasi himpunan mahasiswa Teknik ITB pada laptopnya.
Embusan rokok sedari tadi pun setia menemani. Masih pagi, sih, bahkan baru pukul sembilan, tapi Gama dan teman-temannya sudah penuh semangat mengejar tugas untuk mereka kumpulkan besok pagi. Semangat-semangat awal semester masih membara, terbakar layaknya rokok yang sejak tadi mereka isap.
Tetapi ketenangan Gama mengepul pergi bersama asap kala notifikasi masuk ke WhatsApp yang sedang terhubung ke laptopnya. Gegas Gama mengeceknya, siapa tahu penting, sebab sekilas ia melihat bahwa ibunyalah yang mengirim pesan.
Ibu: sent a photo
Ibu: Hebat….
Entah apa yang mendorongnya, tapi Gama jadi penasaran foto apa yang dikirim ibunya ke grup keluarga. Ia sampai menjeda tugasnya sejenak, menyesap espresso di depan matanya, barulah Gama membuka grup keluarganya melalui laptop. Tanpa perlu mengunduh foto yang ibunya kirim, Gama sudah bisa melihat dengan jelas foto tersebut.
Lembaran hasil cetak KHS, seperti yang beberapa waktu lalu Gama bawa pulang untuk laporan kepada kedua orang tuanya. Bedanya, ini milik Ghani. Kelihatan jelas dari nama yang tertera, serta dimuatnya logo Universitas Indonesia pada bagian atas halaman tersebut. Gama tak memedulikan informasi apapun yang termuat di sana kecuali satu hal: indeks prestasi semester adiknya, Ghani.
3.70.
Spektakuler. Seumur-umur berkuliah, Gama belum pernah menyentuh angka di atas 3.50. Sementara Ghani, pada tahun pertama kuliahnya, sudah menyentuh angka fantastis pada indeks prestasi semesternya. Dan, “Hebat”?
Tidak adil. Kenapa hanya Ghani yang mendapatkan atensi seperti itu?Gama tahu, indeks prestasinya kemarin bahkan tidak menyentuh angka tiga, tapi, kenapa seakan-akan ada dinding di antara Gama dan Ghani? Kenapa hanya Ghani yang dibangga-banggakan di grup keluarga? Gama juga pernah mendapatkan indeks prestasi tinggi meski tidak sefantastis Ghani dan Galih, lantas apakah itu alasan ibunya tidak pernah menyorot Gama?
Tanpa sadar, tangan Gama sudah mengepal begitu kuat. Rahangnya mengeras. Orang sekitar bahkan sudah merasakan aura negatifnya, mungkin? Gama tidak tahu. Satu-satunya hal yang ada di dalam pikirannya adalah ia memilih untuk tidak ikut menaruh atensi pada grup keluarganya yang mulai ramai dengan balasan dari ayahnya dan Galih. Hanya Gama yang tidak ikut serta berbalas pesan dan berbahagia atas keberhasilan Ghani.
Gama marah sekali. Rasa kecewa menggumpal di dalam hatinya. Gama mau menyerah saja. Tidak perlu lagi ia mengerahkan usaha maksimal. Toh, orang-orang terdekatnya saja tidak menghargainya. Laki-laki dengan rambut dikucir cepol asal itu menghela napas. Segera laptopnya ditutup, kopinya yang masih tiga perempat gelas ia tinggalkan tersisa di atas meja. Kakinya melangkah, meninggalkan kafe yang disinggahinya itu. Meninggalkan Ashlan dan Ridho yang masih menempati kursinya masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Ficção Adolescente[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...