Perjalanan Aruna bersama penumpangnya hampir sepenuhnya hening. Dengan kecepatan rendah Aruna mengendarai motornya, membonceng laki-laki yang sejak tadi bungkam di belakang punggungnya. Sesekali Aruna menoleh ke spion, melihat wajah laki-laki di belakangnya. Ia kelihatannya sangat menyibukkan dirinya melihat luka-luka yang ada di sekujur lengan kanannya.
Motor yang Aruna kendarai kemudian berhenti di depan apotek. Sementara laki-laki yang dibawanya menunggu di motor, gadis itu gegas turun, masuk ke apotek untuk membeli pembersih luka, obat merah, kasa, serta air mineral.
Dalam sepuluh menit, Aruna sudah kembali menghampirinya, menyodorkan air mineral yang dibelinya. "Nih, minum dulu," katanya. Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Ia hanya menerima tanpa berkata apapun. Sementara Aruna mulai sibuk menyiapkan kasa dan pembersih luka. Bak perawat, Aruna mendadak mahir sekali.
Pasiennya yang masih kepalang kelu tak memberikan penolakan dalam bentuk apapun. Ia mempersilakan Aruna membersihkan luka-luka di tangan dan betisnya, pun di pelipisnya yang tadi sempat bergesekan dengan aspal. Aruna pula tidak banyak bicara. Gadis itu sibuk sekali, fokus membersihkan luka yang entah atas perintah siapa jadi tanggung jawabnya. Seusainya, tak luput Aruna mengobati luka-lukanya dengan obat merah. Dengan sangat hati-hati, ia menyusuri luka beset dengan kapas yang sudah basah dengan obat merah.
"Nggak sakit?" tanya Aruna.
Hanya gelengan kepala yang jadi respons laki-laki di hadapan Aruna. Dan, meski kecewa dengan semua responsnya hari ini, Aruna tetap melanjutkan aksinya. Tetap mengobati luka-lukanya. Bahkan, Aruna mengantarnya pulang hingga ke depan rumahnya.
Untuk kali pertama, Aruna datang ke rumah laki-laki ini, dan tidak sengaja bertemu dengan ibunya. Ramah sekali wanita itu menyambut Aruna meski sebelumnya menginterogasi dengan penuh khawatir.
"Ayo sini, masuk dulu—siapa namanya?" ujar ibunya. Aruna menyungging senyum, hendak segera menjawab, seandainya saja wanita berambut panjang ini tidak gegas menginterupsi, "Aduh, maaf banget, ya, Neng, jadi ngerepotin. Ini temennya Gama, ya?"
Senyum Aruna mengembang. "Saya langsung pulang aja, Tante, nggak apa-apa," jawabnya. "Nggak, sih, hehe. Bukan temennya. Tadi ketemu di jalan aja kebetulan."
Raut khawatir lantas tercetak di wajah wanita paruh baya tersebut. Dengan sedikit paksaan, pada akhirnya Aruna mengalah. Gadis itu tidak bisa menolak lagi. Toh, Aruna berencana untuk meminta jemput pada kakak laki-lakinya, dan ibu Gama meminta Aruna menunggunya di dalam rumah.
Aruna memutuskan untuk mengalah ketimbang melawan argumen ibu-ibu yang pasti tak terkalahkan. Gadis itu kemudian disambut hangat, memasuki ruang tamu, menempati sofa yang tersedia di sana. Gama menemaninya, meski laki-laki itu masih sok sibuk dengan luka-luka di tangan dan kakinya.
Sementara ibunya, pamit sebentar ke dapur untuk membuatkan Aruna minum.
Kini Aruna duduk saling berhadapan dengan buron yang selama ini ia kejar tiada henti. Dengan segenap keberanian, Aruna menyingkirkan rasa tidak enak yang timbul di dalam hatinya. Gadis itu menghela napas. Matanya menyorot lurus penuh serius pada laki-laki yang sangat sibuk itu. Satu pertanyaan meluncur dengan begitu lancar dari mulutnya, "Kenapa aku nggak dapat penjelasan apapun, Gam? Kamu pengecut banget, sih. Pergi tanpa pamit, tanpa penjelasan. Aku diblokir di mana-mana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilu Membara Atas Nama Cinta Mengabu
Teen Fiction[WattysID 2022 Winner] Gama Adi Prasaja hadir. Fokusnya semata-mata melampiaskan bara cinta dengan juta cara sederhana yang dimilikinya. Tetapi, laki-laki tiga perempat sempurna itu pada akhirnya membiarkan cintanya mengabu. Meninggalkan Aruna tanpa...