// 09: Rencana Kencan Selanjutnya

1.9K 206 15
                                    

Meski selalu berujar manis tak berkesudahan, tapi tak bisa Aruna mungkiri bahwa pada beberapa waktu tertentu, ia tidak merasakan manis-manisnya mulut Gama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski selalu berujar manis tak berkesudahan, tapi tak bisa Aruna mungkiri bahwa pada beberapa waktu tertentu, ia tidak merasakan manis-manisnya mulut Gama. Tapi Gama mengajarkan bahwa kuncinya ada di mindset. Maka dengan segenap hati, Aruna coba untuk menerapkannya.

Meski Aruna agak memaksakan diri, tapi perlahan-lahan Aruna yakin usahanya akan sukses. Kian ke sini Gama kian jarang menghubungi, tapi Aruna selalu mendorong diri untuk berpikir positif. Mungkin Gama sibuk sekali. Mungkin Gama sedang beristirahat. Mungkin Gama sedang menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Dan semua itu selalu termaafkan oleh Aruna.

Terhitung sudah tiga hari ini Gama hampir tidak membalas pesan Aruna sama sekali dalam seharian penuh. Pun laki-laki itu tidak menelepon Aruna ketika tengah malam menjelang. Benar-benar tidak seperti Gama yang biasanya.

Aruna menghela napas berat sambil terus memandangi layar laptopnya. Mood Aruna sudah hilang sepenuhnya. Kalau sudah begini, ingin mengirim pesan duluan pun Aruna segan. Menelepon duluan apalagi. Aruna takut sekali Gama sibuk dan kehadirannya hanya akan mengganggu.

Akan tetapi, Aruna tidak bisa berbohong. Ia merasa hampa tanpa Gama. Laki-laki itu kini tak pernah lagi meminta Aruna untuk membangunkannya sebelum kelas dimulai, sehingga benar-benar tidak ada alasan bagi Aruna untuk menelepon duluan.

"Hayo, kuliah baru dua minggu udah berani bolos kelas!"

Di tengah sunyi senyapnya gerai Koi Café, suara ramah Jian menyentak, membuat Aruna lekas mengalihkan pandangannya dari layar. Perempuan itu menyungging senyum pada Jian sekilas. "Nggak bolos, lagi. Lagian, dosennya juga nggak ada, kan? Gue udah memprediksi," sangkal Aruna.

Jian tertawa mendengar pernyataan tersebut yang sayangnya benar. "Asli, gue jadi nyesel sih ke kampus. Kelas hari ini cuma satu, gue pakai OOTD seniat ini, malah dosennya nggak ada," sungutnya sambil mengerlingkan mata. "Anyway, gue udah lama deh nggak nongkrong di sini. Kok tumben lo nongkrong ke Grand Indonesia?"

Aruna mengedikkan bahu. "Ya kan gue niatnya ke kampus, Ji. Terus di tengah jalan mendadak aja tuh feeling, makanya naik keretanya gue terusin sampai Sudirman," katanya. "Lo sendirian aja, Ji? Yang lain nggak ikut?"

Jian menggeleng. Sambil mengeluarkan laptopnya dan menyiapkan fail tugas kuliahnya, Jian menjawab, "Belva ada rapat acara, dan lo pasti udah tau Hana ngapain. Gue ke sini juga mau ngerjain tugas. Sayang banget kan kalau gue langsung pulang. Masa lebih lama perjalanan pulang pergi."

Kekehan pelan Aruna terdengar. Menyimak gaya bicara Jian saja sudah membuat mood-nya naik perlahan-lahan. Dan, detik selanjutnya, keduanya mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Jian dengan tugasnya—sambil sesekali ia memainkan ponsel untuk mengunggah foto dan story ke Instagram, sementara Aruna geming memandangi layar laptop sambil bolak-balik menulis dan menghapus barisan kata-kata di dalam puisinya.

Pikiran Aruna terantuk bak tiada jalan ke mana-mana. Buku puisinya hendak ia tulis sepenuhnya tentang betapa manis-manisnya jatuh cinta, tapi kini rasa itu sudah tiada. Euforianya sirna binasa.

Pilu Membara Atas Nama Cinta MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang