Part 7

548 41 10
                                    

Entah mengapa suasana mendadak hening, mereka yang awalnya mengobrol dan bercanda tiba tiba terdiam, ku perhatikan mereka satu per satu untuk memastikan apa ada yang salah, aku tersadar bahwa mereka tengah memperhatikanku dan Zen, ku alihkan pandanganku kepada Zen, tidak ada yang salah dengannya, lalu kenapa mereka memandangi kami, tersadar aku mulai merasa tidak nyaman, mulut papa mulai terbuka, terlihat jelas bahwa papa ingin mengatakan sesuatu kepada kami.

"Wah kalian terlihat cocok ya," kata papa yang tak mengalihkan pandangannya dari ku dan Zen.

"Iya ya Dhan gimana kalau kita jodohin aja mereka berdua?," sahut om Salman sambil menatap mata ayahku seolah memberikan kode kalau mereka saat itu sedang merencanakan sesuatu.

Aku melongo dan hanya terpaku diam mendengar omongan om Salman dan papaku, begitu juga Zen yang awalnya begitu lahap menyantap spaghetti di hadapannya tiba tiba terdiam dan menunduk sambil berdehem-dehem kecil menandakan bahwa dia merasa tidak nyaman. Secara bergantian ku tatap mata papa dan Zen, ingin ku menerka apa maksud dari semua ini. Aku memang tertarik kepadanya tapi Zen yang karakternya benar benar buatku gigit jari, ku rasa aku tak mau perasaanku ini menjadi semakin dalam kepadanya, pasti cuman bisa bikin sakit hati suka sama cowok cuek plus dingin kayak dia, udah susah perjuangin nya eh pada akhirnya malah ga dihargai sama sekali, bukannya negthink sih tapi kebanyakan ending nya gitu.

[Zen's Pov]

Pertama kali aku melihat Mira jujur saja aku sempat memuji penampilannya dalam hatiku, namun aku belum ada niatan untuk menjalani hubungan apapun dengan wanita manapun,  apalagi sepertinya orangtuaku dan orangtua nya berniat menjodohkan kami berdua, ayah Mira dan ayahku sudah sejak lama menjadi partner kerja karena mereka sama sama berasal dari Indonesia, mendengar omongan mereka di saat seperti ini membuatku hanya terdiam dan tak tau harus melakukan apa, sialnya Zidane malah melemparkan senyuman dan menggodaku, kakak macam apa kau ini nggak tau apa kalau adiknya lagi bingung.

☻☻☻

Keheningan saat itu langsung terpecahkan saat papa, mama, om Salman, dan tante Sellie mulai membicarakan tentangku dan Zen, ingin sekali aku bertanya sebenarnya apa maksud mereka seperti ini, apa perjodohan ku dengan Zen benar adanya? Atau mereka hanya bercanda, huft mereka masih saja membahas tentang aku dan Zen, apa mereka lupa kalau aku dan Zen masih ada di meja makan itu, aku benar benar merasa tidak nyaman begitu juga dengan Zen.

"Di deket apartement ini ada Starbucks kan?," bisik Zen yang seketika membuyarkan lamunanku.

"Eh ada kayaknya," jawabku gugup dengan bola mataku yang berputar memandang ke seluruh isi ruangan karena tak sanggup menatap mata Zen.

'Dia itu tidak tau atau bagaimana sih, aku kan baru beberapa hari di New York jadi mana mungkin aku tau letak starbucks di dekat sini, oh ya aku lupa dia kan memang tidak tau, bodoh kamu Mir,' batinku sambil merutuki diriki sendiri.

"Oke kalau gitu lo mau gak nemenin gue?," tanyanya tanpa ragu.

Aku yakin saat ini pasti mataku melebar 3 kali lipat dari sebelumnya, aku benar benar kehabisan kata kata karena mendengar ajakan Zen, ahh what should I do?.

"Gimana? Beli kopi doang kok ntar gue traktir deh daripada di sini pasti lo ngerasa gak nyaman kan?," tawarnya lagi.

"Eh iya sih, oke deh," jawabku ragu ragu.

Senyuman kecil yang terlihat sangat manis terlukis di wajah Zen membuatku seketika merasa seperti coklat yang meleleh.

"Om,tante,pa,ma Zen sama Mira boleh permisi mau keluar sebentar?," pamitnya dengan penuh sopan santun.

Kebanyakan reaksi awal mereka adalah tersenyum seakan menggoda namun bisa juga menjadi tanda mereka mempersilahkan aku dan Zen untuk pergi.

"Oh boleh kok memang kalian mau kemana?," tanya papa.

Made in the USATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang