Part 21

289 28 8
                                    

Ku lempar ponselku di atas ranjang, lalu kurebahkan tubuhku agar  bisa merasa sedikit lebih tenang, aku menghela nafas panjang setelah tragedi di telpon barusan, dadaku terasa sangat sesak mengingat kini Zen sedang tidur di tempat Elena, sebenarnya apa yang ada dipikirannya, apa dia benar benar tidak peduli dengan perasaanku, terlalu banyak pertanyaan yang ada di kepalaku saat ini, air mata yang sedari tadi kutahan pun kini jatuh membasahi pipi dan bantalku, kucoba untuk tetap menangis dalam diam agar tidak ada seorangpun yang mendengarnya.

Tok..tok…

Tiba tiba ada yang mengetuk pintu kamarku entah itu papa atau mama. Aku pun segera menghapus air mataku dan melesat menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh muka agar tidak terlihat sembab. Ku pandang diriku sejenak di cermin, syukurlah mataku tidak merah karena efek menangis tadi, setelah selesai merapikan penampilan aku pun langsung membuka pintu kamar.

“Kamu lama banget sih bukainnya,” omel mama.

“Maaf ma tadi Mira di kamar mandi jadi nggak kedengeran,” jelasku.

“Oh gitu.”

“Iya ma, oh ya ada apa emang mama ngetuk pintu kamar aku?,” tanyaku sambil sedikit heran dengan penampilan mama yang sangat rapi dengan make up yang cukup mencolok bagiku.

“Mama sama papa mau pergi ke acara salah satu teman papa, kamu gapapa kan di apartemen sendirian?,” katanya balik bertanya padaku.

“Ya gapapa dong ma, kan biasanya aku juga sendirian,” jawabku.

Mama pun terkekeh. “Hati hati di rumah, mama saranin mending kamu telpon Zen aja buat nemenin kamu,” goda mama.

Ntah kenapa dadaku tiba tiba terasa sesak mendengar namanya disebut oleh mama. “Engga ah dia lagi sibuk ma.”

“Yaudah deh mama berangkat ya,” cetus mama pasrah.

“Iya ma hati hati,” kataku sambil membuntuti mama yang tengah menuruni tangga.

Ternyata papa sudah menunggu mama di ruang tengah dengan pakaian formal yang sudah lama tidak kulihat dipakai olehnya, maklum saja kan mereka baru beberapa hari tinggal di apartemenku dan kemungkinan kami akan menetap di New York. Papa yang sedari tadi berdiri di ruang tengah langsung menghampiri mama yang sudah berada di anak tangga paling bawah sambil mengulurkan tangannya kepada mama lalu ia lingkarkan tangannya pada pinggang mama, sungguh membuatku merasa iri apalagi mengingat perlakuan Zen kepadaku hari ini membuat gadis batinku tertawa miris, kapan aku akan menemukan seseorang yang mencintaiku seperti papa mencintai mama, aku sudah bersama Zen sekarang tapi apa dia orangnya, baru beberapa minggu menjalin hubungan saja dia sudah berani bermesraan dengan wanita lain di depan mata kepalaku sendiri.

“Sayang, papa sama mama pergi dulu ya,” pamit papa sambil melambaikan tangan kepadaku.

Aku pun menghampiri mereka dan membukakan pintu depan untuk mereka. “Iya, papa sama mama have fun ya.”

“Makasih ya sayang, hati hati di rumah,” kata mama lalu mencium pipi kanan dan kiriku.

Aku hanya tersenyum melihat mama yang masih saja mengkhawatirkanku, aku kan sudah beberapa tahun hidup sendirian di sini, tidak ada yang perlu kutakutkan.

“Bye,” Ucapku sambil sekali lagi melambaikan tangan kepada mereka.

Mereka juga melambaikan tangan singkat kepadaku sambil terus berjalan menyusuri lorong hingga mereka sudah tidak terlihat lagi oleh pandanganku. Kini tinggal aku sendirian di dalam apartemenku, ini tidak seperti kesendirianku yang biasanya, aku sudah terbiasa hidup sendiri di New York, tapi ini berbeda, tak henti hentinya pertanyaan tentang Zen dan Elena terngiang ngiang dipikiranku, oh kenapa aku tidak bisa marah kepadanya dan malah berharap ia akan menghubungiku hanya sekedar menyapa saja aku sudah lega, tapi nihil, nyatanya sampai sekarang belum ada satu pun pesan darinya, sepertinya dia memang benar benar nyaman bersama si kaki panjang itu.

Made in the USATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang