Part 26

548 27 19
                                    

{Author’s POV}

Angin sepoi sepoi berhembus cukup kencang di rooftop kediaman keluarga Brahmantyo, terlihat seorang pria dan wanita kini tengah berpelukan, si wanita menangis haru, sedangkan si pria mendekapnya dengan erat, hawa dingin seakan tak mengusik mereka sedikitpun.

“Zen,” ucap Elena yang membuat si pria berbadan tegap itu langsung melepas dekapannya dan menatap wanita di hadapannya itu dengan lembut.

“Iya El?,” sahut pria tersebut dengan keadaan masih menatapnya, Elena terlihat seperti tak ingin ditatap oleh Zen, bukannya tidak mau tapi lebih tepatnya ia takut salah tingkah.

“Maafkan aku, karena selalu menganggu hubunganmu dengan wanita yang kau cintai, aku sadar kalau yang ku lakukan ini salah, aku sadar akan hal itu sekarang, aku tidak seharusnya merusak kebahagiaanmu Zen, kau sudah sangat baik kepadaku selama ini, tapi aku malah membuatmu kesusahan karena ulahku, aku sadar kalau aku benar benar tidak tahu terimakasih padamu Zen, hukumlah aku, akan kulakukan apapun agar kau dan Mira memaafkanku,” ucap Elena sambil terisak isak.

Zen yang tak tega melihat sahabatnya menangis kini kembali membawa Elena ke dalam pelukannya yang hangat, “Sudahlah El, aku sudah memaafkanmu, aku sangat bersyukur kamu sudah menyadarinya El, aku yakin suatu saat nanti kamu juga akan menemukan lelaki yang mencintaimu seperti aku mencintai Mira,” katanya sambil mengelus rambut Elena dengan harapan ia akan lebih tenang.

Zen pun melepas dekapannya sesaat setelah dirasa bahwa tangisan Elena sudah mereda dan ia sudah kembali tenang, “Benar kau sudah memaafkanku?,” tanya Elena sambil mengusap air mata yang berhasil mengacaukan make up nya.

Lelaki itu tersenyum puas melihat sahabatnya itu kini sudah tidak bersedih lagi, ditambah lagi kini ia mulai menyadari kesalahannya, “Tentu saja El, sahabat selamanya?,” ucap Zen sambil mengacungkan jari kelingkingnya kepada Elena dengan maksud untuk melakukan janji jari kelingking dengannya.

Elena pun dengan cepat melingkarkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Zen, “Sahabat selamanya.”

***

“Iya iya ah elah, ini bentar lagi juga berangkat, udah ya aku tutup telponnya,” ujarku sambil langsung mengakhiri sambungan telponku dan memasukkan ponselku ke dalam tas.

Aku langsung menatap dan terkesiap melihat apa yang ada di hadapanku, aku sungguh tidak sadar kalau sedari tadi tiga orang yang kini tengah berada di ruang makan tengah memperhatikanku yang sedang terburu-buru dengan tatapan yang seakan meneriakkan suara hati mereka yaitu ‘pagi pagi udah ribut aja ini anak’.

Aku yang hanya berdiri canggung pun langsung menyapa mereka, “Morning ma, pa, Jas,” ucapku dengan senyum yang kubuat selebar mungkin.

“Morning Mir, mau kemana?,” tanya papa yang langsung merespond sapaanku, sedangkan mama hanya tersenyum ke arahku dan kembali disibukkan dengan masakannya, dan Jason hanya mengangkat tangannya untuk membalas sapaanku, sepertinya ia terlalu menikmati sarapan yang tersedia di piringnya itu.

Ku tatap dia sinis karena bisa bisanya dia menikmati sarapan yang dibuatkan mama tanpa memperdulikanku, tak sadar aku memutar bola mataku dan kini aku menatap papa yang juga menatapku seperti menantikan sebuah jawaban, “Eh itu pa aku mau ke bandara, Shilla sama Nita kan hari ini bakal balik ke Indonesia,” jawabku.

Papa hanya ber ‘oh’ ria mendengar jawabanku dan kembali menyantap sarapannya dengan lahap, “Yaudah ma, pa, jas aku pergi dulu ya,” pamitku sambil menghampiri mereka lalu mencium pipi mama.

 “Hati hati sayang,” ujar mama sambil tersenyum dengan senyumannya yang  lembut dan penuh kehangatan.

Aku hanya mengangguk kepada mama lalu melangkah meninggalkan ruang makan, “Oh ya bro semangat ya kerjanya, hari pertama loh jangan sampai kacau,” ucapku sedikit berteriak sambil langsung melesat keluar dari apartemen.

Made in the USATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang