Jamari masih terkejut mendengar penuturan dokter dihadapannya. Hatinya makin hancur sehancur-hancurnya. Mungkin terkesan berlebihan tapi memang itu faktanya.
Tiga bulan ini terasa begitu sia-sia, hancur sudah harapannya. Ingin menangis keras-keras sambil berteriak pada Tuhannya kenapa begitu tidak adil pada dirinya. Dosa apa yang dia lakukan sampai dirinya mengalami hal semacam ini. Sungguh Jamari terkesan menantang Tuhan.
Memang siapa yang mau kehilangan cintanya. Tidak ada, lelaki mana yang mau kehilangan wanitanya. Mungkin lebih baik jika kehilangan tapi masih bisa melihatnya, tapi tidak dengan Jamari.
"Pak saya dan seluruh dokter dirumah sakit ini sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Hampir tiga bulan ibu Meylina tetap tidak ada perkembangannya, pihak rumah sakit sangat terpaksa untuk menyarankan melepas semua alat bantu medis ditubuh istri bapak. Jika bapak berkenan untuk menyetujui, segera tanda tangani berkas ini." ujar dokter yang sudah mengulurkan bolpoint yang terus menatap sendu ke arah Jamari.
Tangannya gemetar tak sanggup mengambil bolpoint di atas meja.
Ucapan sang dokter yang terus menggema ditelinga Jamari. Membuatnya mengacak frustasi, belum lagi sakit di kepalanya.
Ingin sekali dia menangis tapi air matanya tak mau diajak kompromi, atau mungkin terlalu sering menangis membuat Jamari kehabisan air mata. Sudah cukup dirinya meratap, menangis disetiap shalatnya. Jamari hanya ingin bahagia tidak perlu ada tangisan kembali.
Tapi nyatanya hujan masih enggan untuk berhenti. Gemercik airnya masih ingin tetap disana.
Bayang-bayang kenangan masih tersimpan baik di memori. Terus berputar bak kaset lama. Semua kenangan indah berlalu seperti senja, indah tapi hanya sebentar.
"Nak ikhlas kan istrimu, biar dia tenang. Mungkin bisa melepaskan rasa sakitnya." bunda mengelus pundak Jamari.
"Bunda ini bicara apa!tidak ada yang perlu dilepas. Kenapa harus melepaskan jika masih bisa dimiliki. Senjata juga butuh amunisi, begitupun Jamari dan Yudha butuh Meylina!" seloroh Jamari nyalang, akal sehatnya hilang.
"Istighfar nak! Jangan melawan takdir Allah, semuanya sudah di gariskan, sudah di takdirkan. Jika Allah swt. sudah berkehendak kita sebagai hambanya tidak bisa apa-apa. Harusnya kamu ikhlas supaya hatimu tidak sakit!" ujar bunda kecewa berlalu pergi.
Ucapan bunda membuatnya teringat akan ucapan istrinya.
"Apa yang membuat adik bahagia?" tanya Jamari tetap menatap istrinya.
Meylina diam sebentar lalu tersenyum. "Ikhlas. Ketika kita ikhlas semua terasa mudah, nyaman, tenang. Ikhlas memang sulit dan sakit tapi coba pelan-pelan. Dari pada kita terus-terusan sakit karena tidak ikhlas lebih baik sakit sebentar karena ikhlas." senyum Meylina tak pernah pudar.
Mengingatnya saja sesakit ini bagaimana bisa untuk melepaskan. Inikah akhir cintanya, inikah ending filmnya?haruskah sad ending?
Drtt.. drrtt
Danton bagus is calling...
"Hallo."
"...."
"Siap!saya kesana sekarang."
"...."
"Siap!"
Jamari menatap jam yang melingkar di lengan kirinya, ingin tetap dirumah sakit tapi harus segera ke markas. Sudah tidak ada waktu lagi, bisa-bisa ia ditegur atasan jika terlambat. Tentara kan harus disiplin. Jamari beranjak akan pamit pada kakak Meylina, menitipkan istrinya sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Danru Paspampres
Romance^^My First Story^^ Takdir yang membawaku padanya, bagaikan ikan di air dan sayur di gunung. Walaupun ikan yang jauh dilaut dipertemukan dengan sayur didarat dalam satu piring. Ibaratkan jodoh walau terbentang jarak berkilo kilo meter jika memang jod...