#1 Prolog

269 80 49
                                    

بِسْمِ اللّٰه الرَّحْمٰنِ الرَّ حِيْمِ


Hijrah itu indah ...

Ketika kamu hijrah, kamu akan menyadari besarnya kasih sayang Allah taala kepadamu.

Ketika kamu telah memutuskan untuk berhijrah, maka Allah akan membuatmu melihat dunia dari sudut pandang lain.

Pertahankan hijrahmu walau kadang berat karena Allah ingin Malaikat tahu apakah kamu buih-buih di tepi pantai atau karang-karang yang kuat hingga tak gentar ketika diterjang ombak.

••••

Mei 2019
Perpisahan MTsN 07 Al-akbar.
Kalimantan Selatan, Indonesia.

Aku berjalan ke sana ke mari mencari Rayyan sambil bertanya-tanya kepada orang-orang adakah yang melihatnya.

Aku berpikir teman macam apa yang tidak mau memcari temannya di hari pertemuan terakhir kami seperti ini, keras sekali hatinya.

Aku pergi ke kalas dan mendapati Rayyan sedang duduk sendirian, mengasingkan dirinya dari keramaian untuk membaca sebuah buku betulisan tulisan arab gundul.

Duk! Aku menepuk bahunya sambil tersenyum jahil dan duduk di atas meja.

"Kok kaget hahaha," ledekku puas dengan responnya.

"Astagfirullah Naz, bisa tidak jangan jahil sehari saja."

Oh iya perkenalkan ...

Namaku M. Nazril Aidil Karim.
Aku adalah anak tunggal dari M. Noor dan Mariatul Qibtiyah. Keluargaku memang bukan dari kalangan yang mengenal Islam cukup dalam, namun di keluargaku hukum-hukum Islam di jadikan peraturan yang wajib di patuhi.

"Rayyan lanjut sekolah ke mana habis ini? Madrasah Aliyah Negeri 2 Istiqomah?" tanyaku menengok wajahnya.

"Aku sepertinya masuk pondok pesantren," balas Rayyan dengan muka kurang senang.

Dia M. Rayyan Alli (Rayyan)
Anak sulung dari pasangan Ustadz Usman Ali dan Syarifah Siti Sarah. Rayyan memiliki kepribadian yang pemalu dan sangat sopan pada orang-orang kecuali aku, hobinya berceramah.

*Syarif/Syarifah adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan. *Sayyid/Sayyidah adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Husein.

"Kenapa ekspresimu begitu?" tanyaku lagi setelah melihat raut wajahnya tampak masam.

"Hah~ bagaimana ya ... sebenarnya aku ingin jadi dokter."

Aku terdiam bengong, aku pikir selama ini dia ingin menjadi ustadz karena dia sering membicarakan hal-hal bertema religius.

Aku melihatnya mulai dari atas kepala sampai bawah kaki dengan tatapan yang mendalam dan serius.

Di lihat dari sisi mana pun aku memandangnya, dia tidak cocok jadi dokter.

Plak!

Rayyan mengagetkanku dengan melempar sejadah yang ada di kursinya ke wajahku.

"Bikin merinding saja! Kenapa menatapku begitu!?" ucapnya menatapku aneh.

Seperti yang aku katakan sebelumnya, anak ini sangat sopan pada orang lain kecuali aku.

"Wah~ kamu berani sekarang ya denganku!" ucapku tersenyum jahil sambil meremas sejadahnya.

"Kamu sendiri kenapa menatapku sampai seperti itu!?"

"Astaghfirullahaladzim! Kok baper!? Aku melihat kamu bukan karena apa-apa, cuma sedang mengira-ngira kira-kira cocok tidak misalnya kamu jadi dokter! Hahahaha."

Rayyan ikut tertawa dengan tawa yang dibuat-buat lalu merampas sejadahnya dan plak! dia kembali menamparkan sejadah itu ke wajahku.

"Kamu menatapku seperti penculik yang mau mengambil organ tubuhku begitu, bagaimana aku tidak merinding?" ucap Rayyan sedikit bercanda.

"Wah keterlaluan~ apa aku terlihat sejelek itu?" Aku memasang pose layaknya orang-orang tampan.

"Istighfar Naz, ngaca dulu sana," balas Rayyan datar, responnya memang selalu begitu kalau aku membahas soal wajah.

"Ahem! Btw kamu tidak cocok jadi dokter, lebih baik jadi ustadz saja," ucapku lagi tanpa memikirkan perasaan sahabatku.

".... Owh begitu." Rayyan memasang ekspresi kecewa.

"Kamu masuk ponpes juga kan? aku tidak punya teman loh."

"Nanti deh, hehehe."

"Hi! Ayolah! Kita bisa hijrah bareng! Nanti aku ajari deh."

"Apaan sih, kok maksa!?"

Akhirnya kami berdebat panjang untuk terakhir kalinya, Rayyan tetap masuk pondok pesantren dan aku akhirnya tetap masuk Madrasah Aliyah Negeri (Man) 2 Istiqomah.

••••

Bulan Ramadhan 2019
Hari Masa Orientasi Sekolah (Mos)

Dengan kemampuan bergaulku yang baik di hari pertama aku sudah mempunya banyak teman di kalangan wanita mau pun pria. Lalu, di hari kedua ketika kami diminta mengumpulkan tanda tangan anggota OSIM sebanyak-banyaknya. Hari itu aku bertemu dengannya ....

Aku mengantre di belakangnya untuk meminta tanda tangan salah satu kakak OSIM laki-laki.

Kesan pertamaku terhadapnya adalah aneh karena seragamnya serba berlebihan panjang dan lebar, serta terus memakai cadar.

Hm... gadis ini kok aneh banget, batinku sambil menatapnya sinis terus-menerus.

Saat tiba gilirannya untuk meminta tanda tangan, kakak OSIM meminta pulpen untuk menandatangani bukunya. Namun gadis itu lupa mengambil pulpennya dari kakak OSIM sebelumnya hingga dia pun panik.

Karena merasa sedikit bersimpati dan kebetulan aku punya 3 pulpen, aku pun menawarkan bantuan pada gadis itu.

"Hi ini ambillah," ucapku memberikan pulpenku ke arahnya.

Gadis itu berbalik dengan wajah tertunduk dan perlahan mengulurkan tangannya mengambil pulpen di tanganku penuh hati-hati agar tidak bersentuhan lalu memberikannya kepada kakak OSIM di depan kami.

"Oke ... ngomong-ngomong siapa namamu?" tanya kakak OSIM tersenyum jahil.

"Ra-Raihana maulidia putri," balas gadis tadi gugup dan sangat pelan hingga nyaris tak terdengar di telingaku.

"Apa?" tanya kakak tadi sepertinya tidak mendengar, dia mendekatkan telinganya pada gadis bercadar itu sambil tersenyum.

Gadis bercadar terlihat merasa tidak nyaman dan tidak tahu harus bagaimana, wajahnya terus tertunduk sambil memainkan jari-jarinya seolah ketakutan.

Entah kenapa hatiku terdorong untuk menolongnya, aku berkata lantang kepada kakak OSIM tadi dengan raut muka kesal.

"DIA BILANG 'RAIHANA MAULIDIA PUTRI! BISA DI PERCEPAT KAK!? HARINYA PANAS DAN KAMI PUASA!"

Kakak OSIM itu tersenyum padaku yang telah membuat semua perhatian tertuju pada kami. Dengan cepat dia menandatangani buku gadis bercadar tersebut dan mempersilahkan aku maju.

Sebelum gadis bercadar itu pergi, dia berbalik ke arahku, mengembalikan pulpenku dengan kepala yang masih menunduk hingga aku tidak bisa melihat wajahnya sekali pun.

"Tidak usah dikembalikan, itu untukmu saja," ucapku tegas sambil membuang muka lalu berjalan melewatinya.

"Te-terima kasih," ucapnya pelan sambil menunduk hormat kepadaku lalu berlari.

Entah bagaimana tingkahnya saat itu membuatku merasa gemas sendiri hingga tidak bisa menahan senyum, suara manis dan sikap uniknya terus terngiang-ngiang di kepalaku walaupun aku tidak ingin memikirkannya.

Mengubah cara pandanganku padanya yang semulanya kurang menyukainya menjadi sebuah ketertarikan.

"Raihana ..." gumamku berusaha mengingat namanya yang terdengar sangat cantik.




🍃 Sport dan ikuti terus kisah kami
🍃 Thanks for Reading

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang