#39 Fakta yang pahit

14 6 2
                                    

"Aku pernah berjuang, hanya saja tidak terlihat."

•••••

Nazril versi

"Nazril!" panggil Rayyan dari kejauhan

Aku, Adam dan Ezra langsung menoleh ke belakang menatap wajah kelelahan Rayyan yang sepertinya berlari cukup lama untuk menemuiku.

"Hm ada apa?"

"Bisa kita bicara empat mata sekarang?"

Aku terdiam bingung menatap manik amat Adam dan Ezra bergantian dibalas keduanya dengan anggukan.

Setelah itu Rayyan mengajakku pergi ke tempat yang lebih tenang di pojokan kafe, wajahnya terlihat gelisah sambil melihat ke sana kemari untuk memastikan tak akan ada yang mendengar percakapan kami.

"Ada apa?"

"Naz, apa kamu sungguh menyukai Raihana?" tanyanya tiba-tiba.

"Apa sih kok bahas itu mulu."

"Kalau kamu suka tolong jangan menyakitinya!"

"Maksudnya?"

Rayyan mengernyitkan alisnya sambil menggigit bibir lalu menundukkan kepala dan mengepal tangannya kuat-kuat.

"Begini .... sebenarnya aku bukan tunangannya."

"Tolong jangan marah dulu! Aku tahu ini menyebalkan tapi aku punya alasan melakukan itu!" sambungnya buru-buru.

"Raihana itu adikku, gadis yang ingin ayah nikahkan denganmu beberapa tahun lalu."

Aku tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menatap Rayyan dengan wajah kaget, aku cukup terguncang dia berbohong padahal aku begitu mempercayainya tanpa rasa curiga sedikitpun.

"Lalu kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Itu karena kau menjauhi adikku! Apa kau tahu betapa hatiku sedih kau semudah itu menyerah memperjuangkan adikku?"

Brak! Aku memukul meja dan menatap manik matanya dengan sorot mata tajam. "Sebelum kau bilang begitu apa kau tahu apa yang aku alami untuk ini!"

"APA KAU SEDANG BERCANDA? ASAL KAU TAHU GARA-GARA KEBOHONGANMU AKU DAN KELUARGAKU BERTENGKAR!"

Tanpa aku sadari tanganku sudah menarik kerah bajunya dan berkata. "Jika kau di posisiku apa kau akan lebih memilih cinta daripada keluarga?"

"COBA PIKIRKAN POSISIKU!"

Rayyan diam seribu bahasa mendengarkan segala keluhannku dengan wajah tertunduk tanpa peduli aku memakinya.

"Sudah puas?" katanya setelah aku diam dan menenangkan diri.

"Wah~ Rayyan kamu ternyata tidak tahu diri. Setelah semua yang kau lakukan kau bahkan tidak terlihat menyesal sedikit pun."

"Naz! Aku punya alasannya! Aku ingin menguji seberapa besar perasaan sukamu pada Raihana! Mana aku tahu semuanya akan jadi begini!"

"LALU APA HASIL DARI ALASANMU ITU? APA KAU PUAS DENGAN HASILNYA?"

"Kalau aku puas aku tidak akan datang mencarimu!" teriaknya menahan emosi. "tolong jangan jauhi adikku, tolong jangan limpahkan amarahmu padanya," lirihnya meraih tanganku sambil memohon-mohon.

Plak! Aku menepis tangannya. "Terlambat, orang tuaku sudah percaya Raihana itu tunanganmu," ucapku menatapnya datar.

Mata Rayyan berkaca-kaca, sesekali dia menutup mulutnya menahan tangis.

"Naz~ Raihana menyukaimu ...."

".... Aku juga menyukainya ... aku sangat menyukainya, tapi .... sudahlah!" Aku langsung berjalan menjauhi Rayyan.

"Naz! Bisakah kau pikirkan lagi soal Raihana?"

Aku tak menjawab, titik fokusku kini bukan lagi pada kisah cintaku pada Raihana tapi pada kisah persahabatan kami, aku merasa dikhianati oleh sahabat dekatku sendiri.

Aku pikir dia tidak akan berbohong padaku ternyata malah membohongiku habis-habisan. Padahal ... Aku begitu mempercayainya hingga tak ada rasa ragu sedikit pun padanya.

"Ray, aku kecewa padamu," ucapku menatapnya dengan wajah sedih dibalas Rayyan dengan wajah kaget. "sepertinya sulit bagiku untuk mempercayai kata-katamu lagi."

Rayyan tertunduk sambil bergumam kecil, "Maafkan aku."

" .... aku pulang dulu, Assalamualaikum," pamitku langsung meninggalkannya dengan perasaan campur aduk antara kesal, benci, kecewa dan juga sedih.

••••

Sepanjang perjalanan aku terus mengelus dada dan menatap langit, tenggorakanku kering bukan karena haus.

"Astaghfirullah ya Allah ...."

Langkahku terhenti menatap rumah kami beberapa detik kemudian menghela napas panjang dan membuka pintu rumah.

Plak!

Mataku langsung membelalak kaget melihat Ayahku menampar pipi Mama hingga berbekas dan Mama tampak berkaca-kaca. Keduanya orang tua itu langsung menoleh kaget ke arahku dan langsung menormalkan ekspresi mereka.

"Apa yang terjadi?" gumamku pelan dan sedikit syok.

Tak lama setelah itu Mama menangis tersedu-sedu menyapu kasar air matanya dan memelukku tanpa mengatakan sepatah katapun.

"A—ada apa? Apa ini prank?" tanyaku lagi sambil tertawa hambar balas memeluk tubuh Mama.

"Kenapa Ayah begitu? Apa salah Mama?"

"Bukannya Ayah yang mengajarkan agar tidak melukai perempuan, tapi apa ini?"

Ayah menutup mata beliau untuk menahan diri lalu menarik napas panjang dan mendekat pada kami.

"Sayang maafkan aku ...."

Mama mengangguk sandu langsung berlari ke pelukan Ayah sambil menangis. "Tidak apa-apa~"

Sebenarnya apa yang terjadi? Aku pun tak tahu. Aku bingung harus merespon seperti apa kejadian ini hingga aku hanya diam menyaksikan percakapan keduanya.

"Naz ... kita bangkrut," tegas Ayah berhasil membuatku semakin tertekan.

Pikiranku kacau membayangkan bagaimana nanti aku harus membayar biaya sekolah dan memperlihatkan wajahku pada teman-teman.

"Ba—bagaimana bisa? Apa yang terjadi?"

Ayah tertawa dengan air mata yang jatuh mengalir membasahi pipinya sambil berkata, "Pak Anto meminjam uang puluhan milyar atas nama ayah kepada gangster."

"Setelah itu kabur dan para gangster itu datang menangih hutang Pak Anto ke kita."

Ayah tak kuasa menahan tangisnya diperlukan hangat ibu, mereka berdua syok para gangster itu datang mengancam akan menyita rumah kami kalau utang itu tidak dilunasi.

Sialnya lagi kami tidak bisa membela diri karena memang benar ada tanda tangan ayah yang telah dijiplak Pak Anto di surat kesepakatan mereka.

Dalam satu hari itu juga hidupku berubah total, semua barang-barang berharga yang sudah kami koleksi habis dijual untuk membayar utang Pak Anto yang bunganya telah berlipat ganda.

Motor, pakaian mewah, sepeda, mobil, bahkan ponselku telah dijual untuk membayar utang Pak Anto.

Ada ya orang sejahat itu di dunia ini, batinkku menghela napas panjang merelakan segala hal yang aku sukai.

Musibah yang kami alami saat ini terlalu berat hingga membuatku tak punya waktu memikirkan tentang Raihana ataupun Rayyan, beberapa hari aku dan Mama absen ke sekolah untuk membantu Ayah mencari uang.

Maaf ya lama gak up

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang