#37 Fakta (2/2)

8 8 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

“Pase yang paling menyakitkan adalah ketika kita berdoa pada Tuhan bukan untuk menyatukan tapi untuk melupakan."

••••

“Sepertinya aku harus benar-benar mengikhlaskan Raihana," ucap Nazril menunduk sedih.

Kata-kata itu lantas membuatku syok, tahu gak kalian bagaimana rasanya mendengar nama kalian keluar dari mulut orang yang kalian sukai? Ya begitulah perasaanku saat ini.

"Aku sempat dimarahi orang tuaku, sepertinya mereka ... tidak akan mendukung hubungan kami."

"Kenapa?"

"Bukannya sudah jelas?" Nazril menatap Ezra dengan tatapan sayu lalu menunduk memainkan jarinya. "dia tunangan Rayyan."

Deg!

Aku menggelengkan kepala tak habis pikir dirinya sungguh berpikir aku dan Rayyan adalah tunangan.

Aku tak tahu harus bahagia atau sedih mengetahui cintaku tak bertepuk sebelah tangan, sayang sekali aku mengetahuinya saat dia berniat berhenti memperjuangkan aku.

Mataku langsung memanas membendung rasa sedih. sekeras apapun aku menjaga ekspresi wajahku, nyatanya mataku tak bisa berbohong.

Setetes air bening lulus dari ujung mataku yang langsung menggigit bibir dan mengusap kasar mata.

"Orang tuaku memintaku pindah sekolah agar tidak bertemu Raihana," ucapnya sukses merenggut senyumku.

"Terus gak jadi pindah kan?"

Nazril mengangguk singkat dengan senyum hambar. "Tapi syaratnya aku tidak boleh sedikit pun mendekati Raihana."

"Kau akan melakukannya?"

"Ini pilihan terbaik yang bisa aku pilih."

Mendengar suaranya yang terdengar sedih, aki diam-diam menangis tanpa suara seraya berlari menuju kelas.

Aku takut kehilangannya lagi, Aku tidak mau merelakan kepergiannya. Cukup sekali aku kehilangan sosoknya.

Berkali-kali ku coba pahami kondisi dirinya, tapi hatiku tetap saja merasa tak terima dengan keputusannya.

Padahal Abi dan aku sudah sangat menyukainya tapi semudah itu dia menyerah. Apa memang kisah kami hanya sampai di sini?

••••

Sepanjang jam istirahat aku terus menangis hingga semua temanku bingung, tak terkecuali Nazril yang baru saja memasuki kelas.

Matanya menatapku lekat dengan wajah kaget dan ekspresi khawatir seolah ingin bertanya tapi tak berani membuka mulutnya.

Set! Dia memalingkan wajahnya tak acuh dengan tangan mengepal dan mata terpejam. Sadar dirinya tak berani mendekatiku bahkan untuk bertanya bagaimana kabarku, tangisku semakin pecah.

"Raihana kau kenapa? Sakit perut?" tanya April langsung menghampiriku.

"Ayo kalau begitu kita pulang saja ya?" ajaknya langsung aku angguki.

"Alya bantu bawain tas Raihana ya! Rai kamu bisa berdiri kan?"

Aku mengangguk cepat masih dengan isak tangis, lagi-lagi mataku melirik ke arah Nazril yang hanya diam mencoret kertas kosong di mejanya.

"Menyebalkan," lirihku berharap dia mendengarnya.

••••

Sesampainya di rumah aku terdiam tak berani masuk dengan kondisi seperti sekarang.

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang