#22 Khawatir

30 11 10
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan kamu pedihnya pengharapan. Supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya."

- Imam Syafi'i -

••••

Aku terkekeh lucu di balik buku yang menutupi wajahku, sementara Alya terus memperhatikanku dengan wajah bingung karena sikapku yang berbeda dari biasanya.

"Naz, Emily bilang kamu sakit ya?" Adam dan Ezra memasuki kelas dengan masih mengenakan pakaian futsal mereka yang menampakkan lutut.

Astaghfirullah, batinku langsung memalingkan pandangan dari mereka.

Bruk! Adam ikut duduk di sebelah Nazril dan mengipas-ngipaskan kerah bajunya pengap. "Aduh gila tadi itu cape banget Zra, kok bisa sih anak SMA Purnama pada hebat?"

Ezra mengangkat bahunya singkat, mengambil bekas obat yang tadi Nazril robek. "Hmm sudah membaik?" tanyanya.

Nazril mengangkat kepalanya menatap kedua sahabatnya. "Bisa tolong carikan Ibu Mariatul dan suruh ke sini?" lirihnya pelan dengan mata sayu.

Adam dan Ezra bertatapan lalu Adam mengangguk dan pergi mencari Ibu guru pengajar Matematika kelas 12 yang entah siapanya Nazril itu.

"Akh~" Ezra terlihat lega setelah menghabiskan minuman di atas meja. "tadi kami gak sempat istirahat gara-gara Emily bilang kau sakit parah dan gak mau minum obat," sambungnya terkekeh dan bersandar di bangku.

"Itu di lebih-lebihkan, sebenarnya gak sampai parah juga," balas Nazril sedikit tersenyum.

"Obatnya dapat di mana? Emily bilang kau membuangnya."

"Oh ini ... pemberian Raihana dan Alya," balas Nazril membuatku langsung membalikkan wajahku ke arah berlawanan darinya dan tersenyum.

Alya pun memasang wajah bangga seolah telah menyelamatkan dunia, lalu menyembunyikan wajahnya di balik bahuku sambil terkekeh lucu.

Aku tidak tahu lagi apa yang Nazril dan Ezra lakukan tapi telingaku dapat menangkap Ezra sedang tertawa pelan seolah sedang meledek Nazril.

"Assalamualaikum, Nak?" tanya Ibu Maria masuk ke kelas kami dan menghampiri Nazril yang langsung mencium tangan beliau.

"Wa'alaikumussalam," balas kami semua yang ada di kelas kompak.

"Raihana, Ibu Maria bilang 'Nak' loh tadi," bisik Alya membuatku tersentak.

Apa Nazril anak beliau, batinku.

"Kamu demam, mau Mama antar pulang dulu?" tanya Ibu Maria setelah memegang dahi Nazril yang terasa panas.

Nazril mengangguk pelan lalu mengambil tasnya. "Aku pulang duluan ya, rasanya mual."

Ezra dan Adam mengangguk, memberikan Nazril jalan untuk keluar dari bangkunya.

"Baju sasirangannya harus di kembalikan ke siapa ya Nak?"

"Oh itu milik teman sekelas kami kok bu, tenang saja. Tidak perlu buru-buru dikembalikan juga gak apa-apa." Adam gelagapan.

"Oke nanti besok atau Rabu ibu kembalikan setelah ibu cuci, untuk saat ini maaf Nazril bawa pulang dulu ya?" tatapan Ibu Maria mengarah ke wajah kami satu persatu, tak terkecuali aju dan Alya.

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang