#16 Jum'at (2/2)

49 22 25
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

“Selemah-lemah manusia ialah orang yang tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu adalah orang yang menyia-nyiakan sahabat yang telah dicari.”

-Ali bin Abi Thalib-

••••

Selesai sholat Jumat, aku mengajak teman-temanku pergi ke restoran hotel Ayah yang tak jauh dari mesjid.

“Wah besar ya Naz, desainnya seperti juga keren.” Adam celingak-celinguk memperhatikan dinding hotel.

“Kenapa ke hotel? Aku mau ke rumahmu!” protes Ezra tidak terima.

“Hotel ini rumah kedua ku."

Ezra terlihat tidak suka dan terus murung tanpa berbicara sama sekali, matanya tak mau lagi melihat ke arahku.

“Bagaimana sekolahmu?” tanya Rayyan menatapku.

“Hm biasa saja, tidak ada hal-hal yang bisa dibanggakan. Kamu sendiri bagaimana?”

“Di Asrama cukup nyaman, aku mendapat banyak sekali surat dari ikhwat,” balasnya terkekeh kecil.

“Wah orang ganteng mainnya sama orang ganteng juga ya.” Adam memasang senyum kaku.

“Kamu paham maksudku apa?” ledek Rayyan meremehkan, maksudnya kata ikhwat tadi.

“Tentu saja, begini-begini aku anak Madrasah. Aku jadi minder, rasanya seperti bebek hitam di tengah gerombolan angsa putih.”

*Maksudnya jelek sendiri

Tap! Seseorang memegang bahuku dari belakang, dia adalah Ayahku. “Loh Nazril bawa teman, Kenapa tidak bilang ke Abah dulu?”

Aku langsung berdiri dan bersalaman, “Tidak ada apa-apa Pak. Kami cuma sebentar dan mereka sudah ku kasih makan.”

Ezra dan Adam bertatapan menyadari ada yang ganjil dengan interaksi ku dan Ayah, sedangkan Rayyan sudah biasa dan ikut bersalaman dengan Ayah.

“Rayyan lama tidak bertemu, bagaimana kabar orang tuamu?” sapa Ayah tersenyum dan dibalas anggukan dan senyuman oleh Rayyan.

Ayah lalu melihat Adam dan Ezra bergantian. “Kalian teman baru Nazril? Akrab-akrab ya dengannya."

“Oh i-iya Om!” Adam menarik tangan Ezra maju mendekati Ayah dan ikut bersalaman.

“Ya sudah Ayah pergi dulu ya, kalian makan-makan saja sepuasnya.” Ayah kembali melangkah menjauh.

“Naz kok kamu aneh?” Adam kebingungan. “kamu menyebut orang tua laki-laki siapa?”

“Random sih. Bisa Ayah, Bapak, atau Abah.”

“Kok gitu?”

Sekilas info waktu kecil orang tuaku mengajarkan menyebut Abah seperti tetangga-tetangga kami, tapi setelah hotel kami sukses banyak bawahnya memanggil Bapak dan aku ikut-ikutan kalau di hotel memanggil Abah dengan sebutan Bapak.

Selanjutnya saat MTSN ketika guru bertanya memanggil orang tua dengan sebutan apa, banyak yang menjawab “Ayah” dan aku jadi merasa beda sendiri lalu kembali ikut-ikutan kalau di luar rumah atau bicara pada teman.

Kebiasaan itu masih aku lakukan sampai sekarang dan sulit mengubahnya karena Ayah juga sudah terbiasa di panggil begitu.

“Hahaha unik sekali,” Adam tertawa geli. “Kalian berdua menyebut orang tua kalian dengan sebutan apa?”

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang