بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
“Jangan pernah melukai seseorang hanya karena kau marah padanya, sesungguhnya itu perbuatan yang kejam.”
—Mariatul Qibtiyah—
••••
Matahari telah menghilang dan kedua orang tuaku tak kunjung datang, perasaan takut dan cemas menguasai diriku hingga aku tak bisa tenang dan terus berjalan bolak-balik di depan pintu kamarku.
Ya Allah kenapa mereka belum pulang, batinku menggigit bibir.
Aku kembali duduk menyandarkan tubuhku dibalik pintu sambil mengelus dada. “Astaghfirullahaladzim 3×”
Waktu azan maghrib tiba dan mereka tak juga kunjung datang, aku ingin mencari mereka tapi aku takut dengan ancaman Ayah sebelumnya.
“AAAAKH!” teriakku menendang angin dan mengacak-acak kepala.
“MAMA~” teriakku nyaring hingga membuat Bibi kaget dan mencek keadaanku.
“Tuan Muda gak apa-apa?” tanya Bibi setelah aku membuka pintu.
“Gak apa-apa, Nazril wudhu dulu sebentar.”
Aku dan Bibi sholat bersama dengan aku sebagai imamnya, hatiku lagi-lagi bergetar, aku tak bisa menahan tangisku di setiap sujud hari ini. Bahkan ketika aku jadi imam pun aku terisak di sujud raka’at kedua.
Aku mati-matian menahan tangis sambil membacakan surah-surah dengan suara parau hingga akhirnya tangisku benar-benar pecah disujud terakhir. Aku tak tahu apakah Bibi bisa fokus karena aku menangis tersedu-sedu ditengah-tengah sholat.
Setelah salam Bibi langsung menghampiriku. “Tuan Muda benar baik-baik saja?” tanya beliau langsung ku balas anggukan kecil sambil tersenyum hangat.
“Bi apa Mama ada ngabarin Bibi?”
“Emh gak ada,” jawab Bibi setelah berpikir keras. “Tuan Muda sedih karena itu?”
“Maaf ya Bi, apa Bibi bisa sholat dengan khusyuk tadi?”
“Alhamdulillah bisa, lantunan ayat Tuan Muda sangat Indah mana mungkin Bibi tidak khusyuk.”
Bibi berbohong, faktanya tadi aku bahkan beberapa mengulang ayat yang tak sengaja terpotong karena aku tak bisa menahan tangis.
“Maaf Bi ...”
“Loh kok minta maaf? Gak apa-apa, Bibi justru suka kalau Tuan Muda menangis dalam sholat. Apa Tuan Muda tahu, air mata penyesalan itu sangat disukai Allah.”
“Iyaa makasih Bi. Nazril mau ke kamar dulu.”
“Gak mau makan? Tuan sudah gak makan dari pagi loh.”
Aku menggeleng dan terus berjalan menuju kamarku. Di dalam kamar aku termenung menghadap jendela kaca kamar yang memperlihatkan jalan raya.
••••
Kukuruyuk! Suara Ayam membuatku kaget dan membuka mata, cahaya matahari bersinar silau mengenai wajahku. Sepertinya aku tertidur ketika menunggu Mama dan Ayah pulang kemarin malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemi Dalam Diam
Fiksi RemajaKisah cinta yang begitu rumit antara putri seorang ustadz dan pemuda papuler yang selalu dikelilingi orang-orang. Mereka saling mengagumi dalam hati, namun perbedaan pergaulan membuat mereka jauh dan tidak bisa saling mengatakan isi hati satu sama l...