#15 Jum'at (1/2)

43 18 31
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

“Supaya engkau mendapat sahabat, hendaklah dirimu sendiri sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang.”

-Buya Hamka-

••••

Rayyan datang ke rumahku lebih awal dan terus membahas masa lalu kelam kami sambil tertawa puas.

Dia mengungkit tentang ketika pertama kali kami bertemu dan jadi dekat, lalu membahas soal insiden aku memukuli kakak kelas 8 sampai kakelnya kesal dan menggigitku, tak lupa pula Rayyan mengejekku yang dulu pernah hampir terjerumus dengan zina karena Kak Aliza. Astaghfirullah.

“Senang kamu begitu Ray?” ucapku kesal dia terus membahas masa laluku.

“Hahaha seru sekali, ke mana anak kecil yang konyol itu? Apa benar kamu orang yang sama?” ledeknya tersenyum lebar.

“Hi aku ini makhluk hidup, aku berkembang selayaknya manusia pada umumnya. Kenapa kamu heran sekali dengan perubahanku?”

“Hahaha itu jawaban paling unik yang pernah aku dengar!”

“Oh iya kamu ingat tidak dulu Abi ingin menikahkanmu dengan adikku hahaha!”

Aku mengingatnya, siapa yang akan lupa jika mengalami hal seperti itu. Bisa-bisanya dia membahas itu setelah sekian lama.

“Saat itu kamu bahkan tidak berani lagi ke rumahku hahaha!” sambungnya terkekeh.

“Tidak juga kok, alasanku tidak ke rumahmu lagi bukan itu. Aku tidak ke rumahmu lagi hanya karena sedikit risih dengan pandangan para santri yang habis berkunjung ke rumah kalian.”

Sedikit kenangan setelah ayah Rayyan menawarkan hal tidak terduga itu, setiap aku ada janji ke rumah mereka pasti ada saja santri yang berkunjung di sana dan pasti berpapasan denganku di jalan.

Mereka selalu menatapku lekat penuh perhatian sambil berbisik-bisik seolah mengatakan "Itu orangnya?"

Biasanya kalau bertemu mereka aku langsung putar arah, tidak jadi ke rumah Rayyan gara-gara risih.

Kejadian itu terus berulang sampai akhirnya aku tidak pernah lagi membuat janji bertamu di rumah Rayyan.

“Oh ada cerita seperti itu juga? Jadi kamu bukannya tidak mau menikahi adikku?”

“Hi! Saat itu aku masih sangat kecil, aku yakin ayahmu hanya bercanda. Melihat adikmu saja aku tidak pernah.”

“Oh iya, ngomong-ngomong ada wanita yang sedang aku sukai,” sambung-ku mengingat Raihana.

Wajah Rayyan berubah tegang menatapku tajam dengan mata yang sedikit melotot. “Siapa?” tanyanya tampak sangat penasaran.

“Ada aja deh, rahasia hahaha! Aku jadi teringat kata-katamu kalau ‘Teman itu bisa jadi saksi di akhirat’ aku jadi ragu kalau-kalau curahanku dihitung dosa hahaha.”

“Memangnya kamu melakukan apa dengan gadis itu?”

“Tidak ada sih, hanya saja dia ....” kalimatku terpotong, mengingat kata-kata bahwa Raihana mungkin sudah bertunangan.

“Kau tahu Naz, dia sepertinya tipe idealnya Raihana banget.”

“Orang seperti itu mudah di tebak, mereka pasti sukanya pria sholeh yang selalu memakai baju muslim dan tidak mudah didekati cewek.”

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang