#23 Siapanya

23 12 4
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

"Jangan menjelaskan tentang dirimu pada siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu."

- Ali bin Abi Thalib -

••••

Begitu matahari sedikit naik dan suasana rumahku menjadi begitu sepi seolah tiada penghuninya, Rayyan datang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Wajahnya mengintip di balik pintu dan melihat ke arahku yang sedang duduk menonton TV sendirian.

"Weh sakit kok nonton TV?" tanyanya terkekeh dan memperlihatkan sekantung bubur ayam yang masih hangat.

"Kau sampai bawa beginian?" tanyaku mengambil bubur tadi dan menaruhnya di samping kami.

"Gak di makan? Nanti keburu dingin."

Aku menggeleng cepat dengan wajah kesal. Sebenarnya aku... masih sangat kesal dengan apa yang dia lakukan padaku beberapa hari lalu.

"Ya sudah, aku ambilkan mangkuk dulu ya?" Rayyan kembali berdiri dan berjalan menuju dapur rumahku.

Anak ini memang sudah hafal semua sudut-sudut rumahku dan dia juga memang suka seenak jidatnya melakukan apa pun di sini ketika hanya ada aku dan dia, jadi jangan heran kalau sekarang dia seperti tuan rumahnya.

Tak! Rayyan menyodorkan semangkuk bubur ke depanku sambil tersenyum.

"Aku sedang tidak selera makan," tolakku mendorong mangkuk itu menjauh.

"Kamu masih marah?" tanyanya dengan wajah sedih. "maaf, aku benar-benar tidak menyangka kau akan jatuh."

"Menurutmu bagaimana?"

"Kamu masih marah."

Kami terdiam kehabisan topik pembicaraan, Rayyan lalu menghela napas kasar dan memakan bubur bawaannya karena dia tahu betul sikapku yang kalau sudah menolak maka akan selamanya menolak.

"Aku harus seperti apa agar dimaafkan?" gumamnya pelan sambil terus menyantap bubur ayam tadi.

Melihat dia memasang ekspresi sedih begini aku juga jadi tidak enak hati, terlebih lagi dia sampai meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumahku begini.

"Sebenarnya aku bukannya marah, tapi sedikit kesal saja ... coba kalau kau di posisiku, apa kau tidak akan marah?"

"Tidak!" jawabnya tanpa ragu, "kau tahu kan diam-diaman sesama saudara muslim itu tidak baik? Kita tidak boleh sampai ada perasaan benci," sambungannya.

"Ya sudah terserahmu, kau di maafkan."

"Kau tidak ikhlas!" protesnya memukul bahuku kuat dengan ekspresi marah.

Aku pun balas memasang wajah marah dengan sikapnya, lalu menghela napas panjang menyandarkan tubuhku di bangku, rasanya aku malas berdebat dengannya hari ini.

"Ngomong-ngomong bagaimana kakimu?" tanya Rayyan mengalihkan topik pembicaraan.

"Hm sudah mendingan."

"Sebenarnya kau sakit kenapa?"

Aku mengangkat bahuku singkat pertanda tidak tahu, perasaan sebelum sakit aku tidak memakan atau meminum apa pun selain makanan rumah. Rasa sakit yang aku alami beberapa hari ini berbeda dari rasa sakit yang biasa aku alami ketika sakit, rasanya kepalaku berkali-kali lipat lebih sakit daripada kakiku yang terkilir.

Tubuhku juga panas dingin tidak beraturan, kadang-kadang aku sampai mual dan lemas merasakan sakit seperti ini jadi aku tidak bisa pergi ke sekolah dulu walaupun ujian sebentar lagi tiba.

"Ini hanya perkiraanku saja, tapi sepertinya kau kena penyakit 'ain," ucap Rayyan memasang wajah serius.

"Penyakit akibat pandangan dengan perasaan yang berlebihan terhadap seseorang itu maksudmu?" tanyaku dengan mata sedikit membelalak kaget. "masa sih? Perasaan aku tidak pernah jahat pada seseorang."

Rayyan tertawa menepuk-nepuk pundakku. "Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Ain itu benar-benar ada. Andaikan ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, sungguh 'ain itu bisa.' HR. Muslim No.2188." ucapnya lalu menjelaskan kalau mata ain itu bisa timbul karena perasaan iri dan dengki yang dipendam dalam hati.

Sebenarnya aku pernah dengar ceramah tentang mata 'ain ini, seingatku katanya agar terhindar dari mata ain kita harus meminta perlindungan dari Allah dan membersihkan hati dari perasaan-perasaan negatif pada orang di sekitar kita.

Setiap memuji orang ada baiknya ucapkan "Masya Allah" dan kalau di puji orang tanpa kata "Masya Allah" kita harus mengucapkan "U'iidzuka bikalimaatillaahit-taammah, min kulli syaithoonin wa haammah, wa min kulli 'ainin laammah"

*Artinya: "Aku memohon perlindunganmu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari segala gangguan setan, binatang pengganggu, dan dari pandangan mata yang buruk."

"Apa aku bisa sembuh?" tanyaku ditertawakan oleh Rayyan.

Dia meledekku yang katanya terlalu memukau saat fashion show sehingga para pria lain iri dan dengki padaku seolah dia melihat penampilanku.

"Insya Allah akan sembuh, berdoa saja banyak-banyak."

"Doakan aku ya?" pintaku tersenyum canggung padanya, rasanya geli juga mengatakan kata-kata seperti itu pada teman sendiri.

Respons Rayyan pun seperti biasanya kurang ajar, dia tidak mau mendoakanku dan menggeleng kuat dengan wajah sombong padahal aku sampai memintanya secara langsung. Katanya dia tidak mau melakukannya kalau aku tidak ikhlas memaafkannya.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana aku bisa ikhlas memaafkannya kalau dia sengeselin ini.

"Rai padahal aku sudah meminta secara langsung, setidaknya hargai usahaku!!"

"Rai?" tanyanya merasa kata Ray yang aku katakan tidak familier dan sedikit berbeda.

Aku segera menepuk jidatku kesal, bisa-bisanya aku memanggilnya dengan singkatan Rai bukannya Ray. "Ha-ha-ha!" aku langsung tertawa kaku berpikir mungkin-kah aku sebegitu rindunya dengan Raihan sampai terus mengingat namanya yang awalanya mirip dengan Rayyan.

"Raihana?" ucap Rayyan membuatku tercengang kaget menatapnya tajam.

"A-apa?"

"Raihana orang yang kau sukai?"

"T-tunggu dulu!? Kau.. kau bagaimana bisa menyimpulkan ke situ? Sebenarnya benar ya kau tahu sesuatu?" Aku semakin yakin kalau Rayyan tahu sesuatu.

Rayyan terkekeh dan menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku hanya asal tebak, ternyata benar hahaha!"

"Kau berbohong!" ucapku penuh semangat lalu menarik daun telinganya yang memerah dengan kuat dan kesal. "Telingamu merah biasanya kau bohong!" sambungku membuatnya kesal dan langsung menepis tanganku.

"Kau siapanya Raihan?" mendengar pertanyaanku itu Rayyan terdiam menatapku tanpa ekspresi. "kau jangan-jangan tunangannya itu?"

"Kenapa kau berpikir aku adalah tunangannya?"

Aku berpikir sejenak menyusun kata-kata untuk jawaban dari pertanyaannya itu. Kalau di dipikir-pikir ciri-ciri tunangan Raihana yang dikatakan April dan teman-temannya sangat cocok dengan Rayyan, terlebih lagi dia bisa menebak Raihana ke perpustakaan hari apa dan menebak nama Raihana yang bahkan belum pernah aku sebut.

Mendengar jawabanku Rayyan tertawa kencang seolah lupa bahwa tertawa terbahak-bahak itu tidak baik lalu mengangkat kepalanya sombong dan tersenyum miring menatapku.

"Hm menarik," ujarnya membuatku bingung dengan artinya.

"M-maksudmu apa?"

"Jadi kau benar-benar menyukai Raihana, Naz?"

"Tidak," lirihku menggeleng, kalau benar dia tunangan Raihana mau di taruh ke mana harga diriku nanti. Bisa-bisa nanti aku malah dicap buruk oleh sahabatku sendiri.

Semoga kalian suka ya

Teruntuk yang sudah mengikuti cerita ini dari awal saya ucapkan terima kasih sudah selalu sport✨

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang