#35 Dihindari

28 10 4
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

“Faktanya yang bisa memberikan sakit terdalam itu bukan orang yang membenci atau dibenci, melainkan orang dekat dan berarti dihati.”

—Raihana Maulidia Putri—

••••

*Raihana versi

Aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan dapur yang telah habis, seperti biasanya aku berjalan cepat dengan wajah menunduk sambil membawa sekantung plastik hitam berisi sayur-mayur.

“Oh!” Langkahku terhenti begitu melihat buah-buah apel berwarna merah segar yang terpanjang di toko, aku tak bisa menahan diri untuk tidak membeli itu.

“Wah~ cantik sekali kalian,” gumamku mendekatkan wajah pada buah-buah apel tersebut.

Kak Rayyan pasti suka, pikirku terkekeh lucu mengingat pria satu itu sangat menyukai buah apel.

Aku terlalu bersemangat hingga menjatuhkan dua buah apel yang langsung menggelinding ke arah berlawanan, dengan cepat aku berjalan mengiringi satu buah Apel yang terus menggelinding ke arah kanan.

Duk! “Aduh!” pekikku menabrak bahu seseorang. “Ma-maaf!” ucapku langsung menatap orang tersebut.

Orang tersebut tak bergeming dan langsung berjongkok mengambil apelku yang menabrak kakinya. “Iya gak apa-apa, ini.”

“Loh Raihana?” tunjuknya dengan wajah kaget.

“Kak Leon?” balasku tak kalah kaget, siapa yang menyangka bisa bertemu dengan seorang Waketos di pasar sayur. “kakak ngapain di sini?”

“Rumahku dekat dari sini ... kamu sendiri?”

“Biasa cewek hahaha,” balasku tertawa hambar sambil menghindari kontak mata dengan Kak Leon “Oh iya maaf ya saya menabrak Kakak, saya permisi,” sambungku langsung kabur.

“Loh kenapa bur-“

“Leon!?” sapa seseorang dari arah belakangku, suara itu terdengar cukup familiar hingga membuatku penasaran dan ikut berbalik melihat orang tadi. Mataku langsung membulat sempurna melihat orang yang ada di belakangku adalah Ibu Maria dan putranya, Nazril.

“Ibu sedang belanja perlengkapan dapur?” tanya Kak Leon bersalaman lalu menatap ke arah Nazril sambil tersenyum. “Anak ibu?” tanyanya diangguki Bu Maria.

Beliau lalu menatap ke arahku seraya tersenyum seolah sedang menyapa seorang muridnya yang tidak terlalu beliau kenal, merasa diperhatikan aku pun ikut bersalaman dengan beliau.

“Assalamualaikum Bu ....” sapaku gugup.

Rasanya seperti ... bersalaman dengan mertua.

“Siapa ini Leon?”

“Eh, ini teman sekelasnya Nazril loh Bu.” Kak Leon tertawa hambar sambil menatap Nazril yang dari tadi hanya diam sambil memandangi toko-toko di sekitar kami.

“Benarkah Nak?” tanya Ibu Maria menatap Nazril yang langsung mengangguk dengan wajah datar.

Entah ini perasaanku saja atau bagaimana, sepertinya tangan Nazril terus ke belakang, matanya terus menghindariku, dan ekspresinya seperti orang yang tidak nyaman dengan keberadaanku.

“Ya sudah kami berdua duluan ya." Bu Maria langsung mengajak Nazril melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan aku dan Kak Leon yang langsung terdiam canggung.

“Tunggu sebentar ya, aku akan mengganti apelmu tadi,” ucap Kak Leon merasa bersalah karena dia menginjak apel yang tadi aku kejar.

“Gak usah. Terima Kasih atas niat baiknya.”

"Aku akan tetap menggantiny-"

"Kak! Saya mohon jangan memperlakukan saya seperti ini. Ada hati seseorang yang harus saya jaga."

Mendengar itu sekilas wajah Kak Leon terlihat syok, dia terdiam kaku beberapa detik lalu mengangguk paham dengan senyum hambar.

"Baiklah ... maaf ya," ujarnya dengan pelan dan terdengar sedih, sosoknya yang seperti itu membuatku merasa bersalah dan tak tega.

Aku langsung membuang muka sambil mencengkram rok, aku harus tegas dalam menolak seseorang. Sengaja aku tidak minta maaf detik itu juga agar dia tahu bahwa aku serius tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.

Aku tak ingin cinta tulus Kak Leon terbuang sia-sia karena menyukai diriku yang bahkan tak menyimpan perasaan apa-apa padanya, aku takut dia berubah menjadi seperti Kak Aldo.

"Ya sudah aku duluan ya?" ujar Kak Leon tersenyum hangat dan mengucapkan salam perpisahan. Entah kenapa melihatnya sekecewa itu membuat hatiku merasa perih.

"Astaghfirullahaladzim," ucapku mengelus dada.

Aku mencoba menjernihkan pikiran lalu melihat ke arah Nazril yang berjalan ke arah berlawanan dengan Kak Leon, di tangan pria itu terdapat sebuah apel berlabel seperti apelku yang jatuh tadi.

"Apa itu apelku yang dia pungut?" gumamku mengira-ngira.

Rasa penasaran membuatku lupa segalanya, dengan langkah cepat aku mengiringi mereka dari belakang hingga akhirnya Bu Maria dan Nazril berpisah, Nazril terdiam menatap sekelilingnya seolah tidak familier dengan pemandangan di sekitarnya.

Sementara aku? Aku bersembunyi dibalik tiang sambil terus memantau pergerakannya. Entah apa yang dipikirkan orang-orang yang melihatku, yang jelas aku telah kehabisan urat malu.

Nazril berjalan pelan mendekati toko jeruk dan mengambil satu buah bulat berwarna oren tersebut dengan tangannya, cara dia melihat buah jeruk itu sedikit unik karena wajahnya menampakkan kesedihan.

Melihatnya yang seperti itu membuatku benar-benar hilang akal dan langsung menghampirinya, aku berdiri disebelahnya sambil berpura-pura menanyakan harga jeruk-jeruk di sana pada Sang Pemilik Toko.

Mataku diam-diam melirik Nazril yang tak menoleh ke sedikit pun padaku, dia seperti sedang pura-pura tidak melihatku.
Wajahnya terlihat jelas merasa tidak nyaman dengan keberadaanku.

Kenapa dia begitu, batinku sedikit kecewa.

“Orang segede ini gak kelihatan ya,” gumamku menggerutu.

Nazril meletakkan kembali jeruk di tangannya lalu berjalan menjauh tanpa melihat ke arahku sekali pun. Entah kenapa aku merasa dia tersindir dengan kata-kataku.

“Tunggu!” ucapku secara spontan tanpa pikir panjang berhasil-menghentikan langkah Nazril. “Eh kenapa malah kedengaran,” gumamku syok.

Perasaan tadi aku berbicara pelan agar dia tidak mendengarnya, tapi ternyata dia mendengarnya dan langsung berbalik ke arahku dengan wajah datar yang menunduk. Melihat sikapnya seperti itu aku juga otomatis menunduk dan memainkan jari-jariku bingung harus bicara apa.

“A-apel ditanganmu itu milikku kan?” *ngaku-ngaku

“ ... Ooh, maaf kalau begitu,” sahutnya langsung meletakkan apel ditangannya ke tumpukan buah jeruk di sebelah kami. “saya permisi."

Saya?” ucapku menatap pundaknya yang semakin jauh, kata-kata tadi begitu kaku seolah sengaja dia lakukan untuk membuat jarak antara kami.

Lagi-lagi aku meremas rokku kuat untuk menyalurkan perasaan kesal, aku tak bisa menyentuh atau menahannya walau aku ingin, aku harus menjaga pandanganku darinya. Andai dia bukan makhramku maka pastilah aku akan menangkap tangannya dan mempertanyakan apakah salahku hingga sikapnya tiba-tiba berubah.

“Nazril ...”

Rifsa gak up satu Minggu
Gak ada yang nyariin ಥ‿ಥ

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang