بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
“Memperbaiki agamaku, memperbanyak Ilmuku, memperbaiki akhlakku, menjaga dirimu; adalah caraku mencintaimu.”
••••
Hening —itulah suasana yang saat ini terjadi. Tak ada yang perlu kami bicarakan hingga kami memilih fokus pada diri masing-masing.
Puk!” Ezra menepuk singkat bahuku sambil berlari dan mengatakan dia pulang duluan. Sepertinya dia sedang terburu-buru sampai lupa kalau gerbang sekolah masih di tutup.
“Hi Ezra kenapa tuh?” Adam akhirnya menyelesaikan ulangannya dan duduk di sebelahku.
“Gak tahu.”
“Tadi di belakang kelas kita terdengar derum motor loh.”
Aku menatap Adam heran. “Maksudnya itu ada hubungannya dengan Ezra?”
“Yaa ... mungkin saja kan? Habisnya setelah mendengar itu Ezra langsung buru-buru menyelesaikan ulangan.”
Aku berdiri dan mengintip singkat ke dalam kelas. Sayang sekali dari jendela kelas kami hanya terlihat dinding pembatas yang menghalangi pandanganku menuju jalan kecil yang ada di belakang sekolah kami.
Sekedar info semua jurusan kelas X ada di halaman paling belakang sekolah. Sekolah kami berbatasan langsung dengan dua jalan, yaitu; jalan raya pada bagian depan dan jalan kecil dibagian belakang. Oleh sebab itu seluruh sekolah memiliki pagar yang sangat tinggi agar para siswa tidak terganggu dengan suara kendaraan dan agar tidak ada yang nekat bolos keluar.
Bisa dibayangkan betapa nyaringnya derum motor tadi sampai terdengar oleh murid kelas X padahal sudah dihalangi dinding setinggi dan setebal ini.
“Naz!” suara Emily sekali lagi membuat moodku jelek. Tangannya menarik lenganku seolah memintaku bergeser dan membiarkan dia duduk diujung bangku.
Aku pun bergeser, mendekatkan diriku pada Adam dan membiarkan Emily melakukan apa yang dia inginkan. Mata gadis itu menatap tajam ke arah Raihana yang dari tadi sibuk membaca buku.
“Kau kenapa lihatin anak orang begitu sih!?” tegurku kesal dibalasnya dengan tatapan tajam.
“Kau kenapa masih dekat-dekat dia?” tanya Emily menunjuk Raihana yang langsung menatap kami dengan tatapan bingung.
“Astaghfirullahaladzim! Siapa yang dekat-dekat dengan siapa?” —Aku tidak habis pikir dengan Emily. Maksudnya apa, kenapa dia memperlakukan aku seperti pacarnya begini. Padahal aku hanya duduk diam, tak sekali pun aku mendekati Raihana.
“Kau tahu, bicara padanya saja aku tidak pernah! Kau kenapa begini sih! Bikin ilfil tahu gak?” ucapku luar biasa kesal lalu meninggalkannya.
Sepertinya aku sudah kehilangan akal sampai mengatakan kata-kata jahat seperti itu pada Emily. Tapi, mau bagaimana lagi, andai kalian di posisiku apakah kalian akan diam saja?
Astaghfirullah
••••
Ketika jam pulang sekolah, Emily merentangkan tangannya di depan gerbang yang sudah terbuka seolah menghalangi motorku lewat. Aksinya itu berhasil membuatku berhenti dan melepas kembali helm-ku.
“Mil kau apa-apaan?” ucapku dengan nada kesal sekaligus malas berurusan dengannya.
“Ikut dong!” ucapnya mengabaikan April, Lilis dan Tina yang juga ada di samping pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemi Dalam Diam
Teen FictionKisah cinta yang begitu rumit antara putri seorang ustadz dan pemuda papuler yang selalu dikelilingi orang-orang. Mereka saling mengagumi dalam hati, namun perbedaan pergaulan membuat mereka jauh dan tidak bisa saling mengatakan isi hati satu sama l...