#33 Maaf

22 9 1
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ

“Ketika hati tak mau melepaskan, namun logika menentang bersama. Maka ambillah sejadahmu dan mintalah bantuan-Nya.”

—Muhammad Nazril Aidil Karim

••••

*Nazril versi

Aku dan Ayah saling bertatapan dengan tatapan yang berbeda, Ayah menatapku penuh emosi dan ekspresi wajah yang seolah meragukan perkataanku; sementara aku menatapnya dengan tatapan sayu mengharap maaf.

“Oke ... pegang omonganmu, mulai sekarang waktu keluar rumah dan main ponsel Ayah batasi.”

BRAK! beliau menutup dengan kasar pintu kamarku hingga mengeluarkan bunyi yang nyaring. Sosok beliau saat ini berbeda dari biasanya yang aku kenal, aku takut pada sosoknya saat ini.

Aku termenung menatap ambang pintu. Sosok orang yang ku pikir tak akan meninggalkanku berpaling menjauh dan bahkan sampai menamparku.

“Ya Allah ...." lirihku menengadah membendung air mata.

Sakit, begitu sakit sampai tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bukan karena harus menjauhi Raihana, tapi karena kedua orang tuaku sampai sekecewa ini.

Rasa perih bekas tamparan Ayah masih masih membekas dipipiku hingga aku tak bisa berbohong pada diri sendiri bahwa ini hanyalah mimpi.

Duniaku hancur dalam sehari, rumah yang seharusnya jadi tempatku berlindung tiba-tiba terasa menyeramkan hingga aku terus menepuk dada berkali-kali untuk menenangkan resah diri sendiri.

Kini tak ada yang mengerti perasaanku, tak ada yang ada di pihakku, dan tak ada yang menyemangatiku ketika kini benar-benar terpuruk.

“Astaghfirullahaladzim Ya Allah ....” lirihku menggigit bibir untuk menyalurkan rasa sakit.

Air mata yang sempat menetes langsung ku sapu bersih, aku berjalan cepat keluar kamar dan melihat sosok Mama tengah menangis di pundak Ayah. Seburuk itu aku ternyata.

"Maa~" sapaku langsung berjongkok di depan Mama yang lagi-lagi membuang muka sambil terisak tangis.

“Maaf ... Aku menyesal. Jangan benci aku,” lirihku menyentuh kaki keduanya.

Belum sempat ujung jariku menyentuh kaki Ayah, beliau langsung menarik kakinya menjauh dari tanganku lalu pergi meninggalkan kami berdua.

“Ayah! Tolong! Maafkan aku ...”

Beliau berbalik menatapku tajam dengan sorot mata yang menusuk, lalu melayangkan tunjuknya penuh penekanan. “AYAH MAU KAU INTROSPEKSI DIRI! COBA KAU YANG DI POSISI RAYYAN!”

“Iya ... maaf ... aku yang salah.”

“MINTA MAAF KE RAYYAN! BUKAN KE KAMI!”

Tangisku hampir pecah dengan perlakuan Ayah, sekuat tenanga aku membendung air mataku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Nakk," ucap seseorang dengan lembut dari arah belakangku.

Mama tersenyum hangat padaku dengan pipi yang masih basah akibat perbuatanku.

"Ma ...." Setetes air bening jatuh dari ujung mataku, tenggorokanku sakit.

“Jangan sedih ya? Anak Mama kuat,”

“MAAF~” pekikku langsung memeluk erat Mama dan menyembunyikan wajahku di celuk lehernya.

“Sudah-sudah, jangan minta maaf lagi ... Mama sudah memaafkanmu, kami hanya perlu waktu untuk menata perasaan kami.”

Tenggorokanku benar-benar sakit menahan sakit hati, aku tak sanggup berkata-kata lagi dan terus menangis kejar di pelukan Mama.

Selang beberapa menit setelah tangisku mulai reda, Mama melepaskan pelukan kami dan kembali memegang kedua belah pipiku.

“Kita pindah sekolah aja ya?”

Aku terkejut dan langsung menggeleng kuat menatap beliau dengan ekspresi sedih. Aku tak mau pindah, di sekolah itu terlalu banyak kenangan dan orang-orang yang berharga di hidupku, aku tak ingin berpisah dengan mereka.

“Gak mau ... nanti gimana aku bertemu Adam dan Ezra?” rengekku kembali memeluk beliau.

“Nanti kalian bisa main bareng lagi.”

“GAK MAU! MAMA KENAPA TIBA-TIBA BEGINI?”

“MAAA ... PADAHAL MAMA YANG BILANG JANGAN PINDAH ... KENAPA SEKARANG BERUBAH?”

“Mama hanya ingin menghindarkan kamu dari dosa, apa kamu-“

“TAPI AKU GAK MAU!”

“NAZRIL!”

“JAGA VOLUME SUARAMU KETIKA BICARA DENGAN ORANG TUA!” tegur Ayah berjalan cepat menghampiriku.

Ayah langsung menarik tangan Mama menjauh dariku dan mengajak beliau keluar dari rumah.

“Maa ....” lirihku menangkap tangan Mama.

Kami bertiga saling bertatapan lalu Ayah menepis kasar tanganku dari tangan Mama.

“Tetap di rumah! jika sampai kau tidak ada di rumah ketika kami pulang ... maka pintu rumah tak akan terbuka lagi untukmu.”

“Mas!” tegur Mama menarik lengan Ayah. “Nak Ayah sedang marah, jangan diambil hati.”

Aku mengangguk kecil dan meratapi kepergian mereka sambil melambaikan tangan, pikiranku kacau hingga aku tak tahu harus apa di situasi seperti ini.

Aku duduk diam menunggu mereka pulang sambil memandangi foto kami bertiga. "Maafkan Nazril ..."

"Nazril yang bodoh selalu menyusahkan kalian, Nazril minta ampun~" lirihku memeluk foto tersebut sambil menangis.

"Aaaaaakh!"

"Ya Allah~ sakit banget ...."

••••

Beberapa jam telah berlalu dan aku masih setia menunggu kepulangan mereka tanpa tidur sedikit pun, suara Azan subuh sudah berkumandang dan aku langsung berjalan dengan langkah berat.

Sholat subuhku di penuhi air mata penyesalan, suara lantunan ayat yang aku bacakan terdengar bergetar walau sudah aku usahakan sebaik mungkin.

Aku memperlama sujudku sambil menangis mengadukan semuanya kepada Allah. Aku takut ... takut Allah juga meninggalkanku.

"Ya Allah ampuni hamba~"

"Jangan tinggalkan hamba-"

••••

Beberapa jam lagi-lagi berputar sia-sia dan mereka berdua masih tak kunjung datang, perutku bahkan sudah berbunyi dan tubuh ini mulai terasa lemas.

Aku kembali terdiam menatap jam dinding yang sudah menunjukkan jam 15:29.

"Ukh~" lirihku merengguti rambutku.

Lagi-lagi terdengar suara azan, kali ini azan Ashar yang mengingatkanku untuk segera melaksanakan sholat dan untuk ketiga kalinya aku sholat dengan air mata yang membanjiri sejadahku.

Selesainya aku sholat mereka masih tak kunjung datang hingga aku putus asa menunggu. Aku terus menghubungi nomor keduanya namun hasilnya nihil, tak ada yang menjawab.

“Ya Allah lindungilah kedua orang tua hamba,” gumamku masih duduk di sejadah.

“Tuan muda ayo makan dulu, nanti Anda sakit.”

Aku menghiraukan panggilan Bibi, selera makanku benar-benar hilang dan aku ingin fokus menghabiskan waktu untuk bertasbih, berdzikir, dan beristighfar kepada Allah Sang Pencipta Segalanya.

Jangan lupa Allah walau hati
Sedang patah, okeh?

Bersemi Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang