"Yang telah ditakdirkan untukmu akan menjadi milikmu."
••••Nazril••••
Di pagi yang cerah sedikit berembun, aku duduk menatap kaca jendela sambil menghela napas panjang.
Orang-orang di sekitarku tampak bahagia menikmati makanan dan minuman di atas meja makan mereka.
"Nak, kamu tidak sedang bolos kan?" tanya Paman menghampiriku.
"Tidak, hari ini memang tidak diizinkan melakukan aktivitas apapun di sekolah," sahutku mencoba menjelaskan sesederhana mungkin agar beliau paham.
"Lalu kenapa kamu malah ke sini bukannya belajar di rumah?"
" .... Emh aku perlu uang," sahutku tertawa hambar menatap paman yang balas tersenyum kaku.
"Pasti semua ini berat untukmu. Jangan lupa berdoa kepada Allah ya Nak?"
"Iya paman."
"Allah pasti punya rencana terbaik untukmu. Kamu harus yakin itu." Paman mengelus kepalaku lembut.
••••
Begitulah aktivitasku selama beberapa hari setelah sekolah offline ditiadakan, bekerja dari pagi sampai sore di kafe pamanku sendiri sambil menyempatkan waktu untuk belajar mengikuti kelas online.
Memang sedikit melelahkan dan membosankan tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalaninya.
Tak terasa hari-hari hampa seperti ini telah berlalu selama dua minggu dan ternyata pembelajaran jarak jauh ini malah diperpanjang.
Rasanya sedikit kesal dan ingin protes, pembelajaran online itu benar-benar membosankan dan sulit untuk ditangkap oleh otakku yang terbiasa mempraktikkan sesuatu secara langsung.
Banyak tugas yang menumpuk menyita waktu malamku yang seharusnya digunakan untuk melepas lelah karena bekerja seharian.
"Bagaimana bisa yang lain bertahan dengan baik dengan tugas sebanyak ini," gumamku menyandarkan kepala ke atas meja belajar.
Tling! suara pesan grup WhatsApp masuk
Adam
|Kerja kelompok yuk bertiga|Pusing aku mengerjakan tugas-tugas sebanyak ini sendirian
Iya ya kenapa aku gak kepikiran buat mengerjakan bersama-sama, batinku sedikit lega.
Anda
Ayo, kapan?|Ezra
|Aku udah selesai semuaAdam
|Anak ngeh, gak setia kawan|Kok bisa cepat bgt selesainya?
Ezra
|Dikerjakan guru leskuAdam
|🗿Anda
Boleh gitu?|Ezra
|Enggak sih, tapi gak ketahuan jugaAdam
|Jangan gitu lah!
|Curang amat, aku aduin nihEzra
|Yaudah aku kerjain ulang bareng kalianAdam
|Tapi kan ... dah lah terserah••••
Keesokan paginya beneran ngerjain bareng sambil nongkrong-nongkrong di kafe paman.
"Aku menjawab soal SKI ya?" pinta Adam membuat Aku dan Ezra sedikit bingung dengan pembagian soalnya.
"Maksudnya?"
"Kita ngerjain satu orang satu mata pelajar kah?"
"Loh? bukannya emang gitu?" Adam ikut bingung.
"Gak efektif bego!" Duk! Ezra memukul kepala Adam cukup keras hingga pria itu marah dan balas memukul Ezra.
"Terus gimana?"
"Hm satu mapel kan dua puluh lima soal, kita bagi tiga terus selesai'in bareng-bareng permapel."
"Dua puluh lima bagi tiga?" Adam menggaruk kepalanya tak paham.
Ezra yang sejak tadi memperhatikan Adam tampak tidak paham setiap penjelasan kami menjadi kesel sendiri. "Otakmu beku apa gimana?" ketusnya sinis.
"Dibagi delapan dulu, nanti yang paling cepat selesai kerjakan sisanya."
"Oooh oke."
Setelah itu kami mulai mengerjakan soal masing-masing dengan sedikit bantuan google wkwkwk, beberapa kali aku meninggalkan keduanya belajar untuk melayani tamu hingga aku pikir mungkin aku yang nanti paling akhir selesai mengerjakan tugasnya.
"Oke aku sudah selesai," ucapku lega sambil memijat tangan.
"Kerjakan yang nomor 25," titah Ezra serius sambil terus menulis jawaban yang dia temukan di google.
"Aku?" tanyaku menatap mereka bergantian.
Ezra masih menulis jawaban-jawabannya dan Adam masih mencari-cari jawaban beberapa soal yang dari tadi tidak dia pahami.
Aku ditipu ya, pikiranku curiga keduanya sengaja berlama-lama agar tidak mengerjakan soal lebih banyak.
"Oh iya Rayyan ada ke sini gak Naz?"
"Ngapain dia ke sini?" Bukannya dia gak tahu aku bekerja di sini, pikirku pasti.
"Dia beberapa minggu yang lalu bilang mau bertemu denganmu, ya kan Dam?"
"Iya, aku kira kalian sudah bertemu."
"Hm aku gak pernah lihat dia di sini."
Memangnya ada masalah apa lagi yang perlu dibicarakan, bukannya semua sudah selesai setelah dia jujur dia kakak Raihana dan kami jadi bertengkar.
"Kau ... mau sampai kapan mengabaikannya?" tanya Ezra pelan dan sedikit ragu. "bukannya sesama teman harus saling mem—"
"Aku gak mau membahas itu," potongku memasang wajah kesal. "Ada masalah lain yang harus aku pikirkan, jadi jangan membahas yang tidak perlu."
Adam dan Ezra terdiam saling bertatapan sejenak lalu mengangguk kompak kepadaku.
"Kamu tidak seperti Nazril yang kami kenal," gumam Adam pelan samar-samar terdengar ditelingaku.
Aku pun langsung terdiam menatap lantai sambil memasang wajah sedih. Jujur aku pun sadar bahwa memutuskan hubungan dengan Rayyan seperti ini bukanlah hal yang benar.
Tapi lagi-lagi ego mengalahkan logikaku, aku malu jika harus berbaikan dengan Rayyan setelah apa yang aku katakan padanya.
Aku sadar aku juga salah karena menyalahkan dirinya untuk semua masalah yang terjadi, namun saat itu hatiku terlalu kecewa sampai tak bisa berpikir apa yang telah aku katakan bisa menyakiti perasaan seseorang.
Aku kehilangan timing yang tepat untuk minta maaf pada Rayyan hingga rasanya kalau aku minta maaf sekarang (beberapa minggu setelah kejadian) maka akan terdengar seperti pembelaan diri semata.
Sayang sekali persahabatan kita yang dulu sangat rekat menjadi seperti ini, batinku membayangkan waktu-waktu berteman dengan Rayyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemi Dalam Diam
Fiksi RemajaKisah cinta yang begitu rumit antara putri seorang ustadz dan pemuda papuler yang selalu dikelilingi orang-orang. Mereka saling mengagumi dalam hati, namun perbedaan pergaulan membuat mereka jauh dan tidak bisa saling mengatakan isi hati satu sama l...