"Ini apartemen mas Djati?" Djati tidak merespon, laki-laki itu tampak serius memasukkan password untuk membuka pintu apartemennya.
"Bagus juga ya! Megah! Nggak salah papa jodohin aku sama keluarga Juanda. Benar-benar orang kaya yang bisa diandalkan." Djati mengernyit seraya meneliti wajah sumringah Denara, meski pada akhirnya laki-laki itu enggan menanggapi.
"Papa pasti bangga kalo aku bisa bikin mas Djati luluh secepatnya dan menyetujui rencana perjodohan ini. Iya kan mas?" Tutur Denara sengaja dibuat-buat dengan tujuan agar Djati semakin ilfeel padanya.
Tentu, laki-laki itu sontak berdecak dan berjalan begitu saja meninggalkan perempuan di depannya.
"Aku ambilkan uang, kamu pulang sendiri pakai taksi." Titahnya membuat Denara mengerjab.
"Emang aku nggak boleh main di sini dulu, mas?"
"Sudah hampir malam, sebaiknya kamu segera pulang. Aku masih harus mengurus pekerjaanku yang menumpuk."
"Aku males pulang mas." Tukas Denara lalu meletakkan barang belanjaannya tadi di sofa.
"Denara, tolong jangan ganggu aku. Hari ini aku benar-benar sibuk, apalagi gangguan kamu di mall tadi membuat agendaku berantakan."
Denara memutar bola matanya malas, "Mas Djati bisa ngerjain kerjaan mas, aku nggak akan ganggu. Aku cuma mau numpang tiduran di sini." Djati menghela nafas kasar lalu beranjak ke kamarnya. Sedangkan Denara menyalakan TV besar di ruang santai, lalu merebahkan diri di sana.
"Good Denara! Besok pagi harus ada kabar keluarga Juanda membatalkan perjodohan." Lirih Dena sambil menikmati cemilan yang sempat dia beli di mall tadi.
........................
Tiga jam berlalu, Djati tidak juga keluar dari kamar. Denara merasa sedikit gelisah apalagi kini sudah hampir jam sepuluh malam. Bukan masalah jika dia harus pulang tengah malam sekalipun, namun Dena tidak bisa berhenti bertanya-tanya apa yang dilakukan Djati sejak tadi.
Apa laki-laki itu sefokus ini jika sedang bekerja? Apa dia lupa kalo masih ada gue di sini? Sial!
"Mas Djati!" Denara mengetuk pintu kamar laki-laki itu dengan sedikit keras.
Di apartemen ini memang hanya ada satu kamar. Sisanya ruangan tanpa sekat yang tertata rapi dan enak dipandang.
"Nggak mungkin kan mas Djati kabur? Masa iya loncat dari balkon."
Tanpa berfikir panjang Denara menekan handle pintu yang ternyata tidak dikunci.
"Mas Djati?" Panggil Dena saat menyadari ruang kamar kosong. Hanya ada laptop menyala di atas meja, tumpukan berkas yang sedikit berantakan serta ah.. Apa itu?
"Senjata api?" Dena tentu melotot, sepengetahuannya senjata api hanya bisa dimiliki oleh orang yang memiliki ijin dari negara.
Djati punya? Apa ini replika? Ah shit! Djati anak pengusaha kaya Den, dia pasti bisa dengan mudah mendapat ijin untuk memiliki benda semacam ini.
"Letakin!" Denara terperanjat saat suara di belakangnya menginterupsi.
"Ah, mas Djati ngagetin Dena aja. Iya ini Dena simpan lagi barangnya." Dengan tangan sedikit gemetar, Dena meletakkan pistol itu kembali.
Tatapan Djati terasa tajam, bahkan Denara yang pemberani merasa nyalinya langsung ciut begitu saja.
"Lancang kamu masuk kamar orang tanpa ijin." Ujarnya penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
Chick-LitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...