"Miss, lihat ini, aku bikin karangan bunga dari sedotan bekas untuk menyambut donatur kita!" Teriak gadis kecil bernama Winona, sambil menunjukkan karya manisnya.
"Wow!! Ini bagus banget, kamu kapan bikinnya?"
"Tiga hari lalu, sama Miss Ellia dan Damar."
"Tim donatur kita pasti suka!"
"Aku juga punya loh, Miss!"
"Mana coba lihat punya Aila."
"Ini kata Bu Sisca namanya poster untuk menyambut tamu nanti siang. Aku gambar sendiri loh Miss,"
"Iya sayang, persiapkan diri baik-baik ya, sepertinya tim donatur akan segera tiba. Tadi Bu Sisca bilang jamnya di majuin."
"Horeeee!!" Teriak beberapa anak yang kini duduk rapi di depan ruang kelas.
"Nanti jangan gaduh ya, salaman satu-satu biar rapi."
"Siap Miss!" Jawab mereka serentak.
"Miss Denara, nanti dampingi anak-anak di ruangan ya, biar saya yang tunggu di halaman depan."
"Baik Bu Sisca,"
Denara masih sibuk merapikan atribut murid-muridnya yang terus bergerak lincah. Anak-anak dengan keterbatasan masing-masing itu tampak antusias menyambut tamu kehormatan.
Tubuhnya sedikit menegap ketika suara langkah pelan berjalan ke arahnya. Benar saja, rombongan tim donatur mulai memasuki ruang pertemuan.
Setelah menyalami beberapa orang yang hadir, Denara memaku sesaat saat tiba giliran pria tinggi yang tidak asing baginya.
Pria itu terlihat merasakan hal serupa. Bahkan terus menatap lekat ke arah Denara.
"Miss Denara?" Panggil Bu Sisca pelan seolah berusaha menyadarkan Denara.
"Ah, iya Bu Sisca," Perempuan itu tergagap lalu berusaha senormal mungkin untuk menjabat tangan si pria.
Gerakannya tentu tidak seleluasa ketika menyalami orang-orang sebelumnya.
Kunjungan hari ini sebenarnya sangat meriah. Anak-anak dari SLB Permata itu terlihat antusias menyambut para tamu yang hadir.
Terlebih mereka adalah tokoh-tokoh penting yang senantiasa menjamin kehidupan anak-anak di SLB Permata.
Namun, perasaan tidak tenang terus-terusan memenuhi hati Denara. Ia baru bisa bernapas lega ketika sambutan dan acara ini berakhir.
Berupaya mengurai rasa paniknya, Denara berjalan cepat ke kantin untuk memesan makan siang.
Tidak ada menu lain yang menarik minat perempuan itu selain mie ayam. Baru saja ingin menyuapkan sesendok mie, ia hampir tersedak saat seseorang menyapa dari belakang.
"Hai,"
Denara menoleh cepat, matanya sedikit melotot namun masih sempat memalingkan wajah untuk menyembunyikan kegugupan.
"Aku duduk di sini ya, nggak masalah kan."
"Maaf pak, se-sepertinya meja di sebelah sana masih banyak yang kosong." Ujar Denara pelan.
"Formal banget sih, kaya nggak kenal aja." Pria itu langsung duduk santai, sembari meletakkan sepiring nasi goreng dan es teh.
"Aku tahu kamu cuma nggak begitu pintar, tapi daya ingatmu kuat."
Damn!
Denara berusaha mengendalikan diri, ia ingin sekali berpindah tempat.
"Kalau lupa juga tidak masalah, kita bisa kenalan ulang. Aku Djati," Pria itu mengulurkan tangan ke arah Denara meski tak ada sambutan.
"Aku nggak lupa," jawab Denara kemudian.
Ia kembali menikmati mie ayamnya yang hampir saja dingin."Syukurlah kalau begitu, aku juga ngga lupa sama kamu. Yah, meskipun penampilan kamu jauh berbeda nggak merubah apapun dari ingatanku."
Denara tetap diam
"Masih suka mie ayam?" Tanya Djati lagi, Denara tahu pria itu hanya sekedar basa-basi.
"Iya, meskipun ngga seenak di mie ayam langgananku dulu."
"Warung mie ayam itu udah ngga buka. Penjualnya meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan." Jelas Djati pelan membuat Denara terkejut.
"Serius???"
"Iya, kamu tahu kan warungnya berada tepat di pinggir jalan. Setahun lalu ada kecelakaan beruntun di sana. Pedagang mie ayam langganan kamu jadi salah satu korban."
"Astaga," mata Denara terlihat berkaca-kaca. Ia tentu sedih, pedagang yang selalu baik padanya bahkan sudah lebih dulu pergi.
"Kamu udah lama jadi guru di sini?" Sela Djati melihat raut wajah Denara yang berubah muram.
"Aku bukan guru, mas Djati kan tahu aku kuliah aja ngga lulus. Aku di sini kerja sebagai asisten pengajar. Tugasnya dampingi anak-anak belajar aja."
"Aku tanya udah lama?"
"Oh, belum, baru dua tahunan ini."
"Setelah hampir lima tahun menghilang, kamu baru dua tahunan di sini? Sisa tiga tahunnya kemana aja?"
Denara berpikir sejenak untuk mencari jawaban yang pas.
"Bukan urusan mas Djati," tapi hanya itu kata-kata yang mampu meluncur dari bibir Denara.
"Mas Djati sendiri udah lama jadi donatur di sekolah ini?"
"Baru gabung tiga tahunan, atas nama perusahaan bukan pribadi."
Denara mengangguk pelan mendengar jawaban Djati.
"Bisa sempat ke sini lagi bebas tugas atau gimana?"
"Enggak, aku udah nggak di kepolisian. Sekarang fokus mengurus usaha keluarga."
Penjelasan Djati membuat Denara mengingat pesan Bu Lusi beberapa tahun lalu. Ia meminta Djati keluar dari kepolisian dan fokus melanjutkan usaha keluarga.
Bahkan setelah itu, Denara tidak pernah tahu lagi bagaimana kehidupan pria di hadapannya.
"Mas Djati udah sehat?" Djati mengernyit lalu melepaskan sedotan es tehnya.
"Aku emang ngga sakit," jawabnya cepat.
"Operasi ambil pelurunya waktu itu lancar kan mas?"
"Oh itu, astaga kejadiannya udah bertahun-tahun. Nggak perlu kamu tanyakan sekarang. Aku baik-baik aja, toh bisa sampai di sini ketemu kamu.
"Syukurlah." Kali ini Denara benar-benar bersyukur, setidaknya ia tidak berhutang nyawa pada Djati.
"Emm, ibu sehat kan mas?" Denara baru selesai mengungkapkan rasa penasarannya, namun bersamaan dering dari smartphone Djati berbunyi.
"Hallo Bu Sisca?"
"......."
"Oh begitu, iya saya masih di kantin makan siang, nanti saya langsung ke ruangan Bu Sisca."
"....."
"Baik Bu, terima kasih,"
"Ada apa?"
"Aku mau ke ruangan kepala yayasan dulu. Katanya cuma sebentar nanti aku kesini lagi." Ucap pria itu lalu beranjak pergi.
Punggung Djati menghilang di balik tembok, membuat Denara bergegas cepat memberesi barang-barangnya.
Jangan berpikir akan kembali duduk berdua. Justru kepergian Djati bisa Denara manfaatkan untuk segera pulang ke mes.
Denara tahu, ia sudah berjanji pada Lusi, ibunya Djati, jika tidak akan muncul di hadapan mereka lagi.
Sedih pasti! Tapi perempuan itu yakin jika menghindar adalah langkah terbaik. Toh, terkahir kali mereka bersama justru menimbulkan bahaya yang tidak terduga.
Cepat pulang Dena, demi kebaikan bersama. Jangan bikin Bu Lusi kecewa karena kamu mengingkari janji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...